Minggu, 24 Agustus 2014

Kebijakan dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan
di Tingkat Satuan Pendidikan
Melalui Manajemen Mutu Terpadu

A.    Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia.
Seperti telah disampaikan di atas, bahwa pendidikan di Indonesia harus dilakukan pembaharuan secara radikal, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mana pendelegasian otoritas pendidikan kepada daerah secara otomatis telah mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, dengan  melibatkan masyarakat dalam pengembangan program-programnya. Kewenangan pemerintah saat ini adalah sebagai fasilitator terhadap berbagai usulan pengembangan yang digagas oleh sekolah. Paradigma baru pengelolaan sekolah ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia, yang pada hakekatnya berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi persaingan regional maupun global.
Ada dua faktor penyebab upaya perbaikan mutu pendidikan di Indonesia kurang berhasil ( Umaedi: 1999), yakni :
1.    Strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa jika semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penye-diaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lain-nya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenal-kan oleh teori education-production-function (Hanushek,1979-1981) tidak berfungsi maksimal di lembaga pendidikan ( sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
2.    Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya ca-kupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
B.    Peningkatan Mutu Pendidikan di Tingkat Satuan Pendidikan (Sekolah).
Perubahan pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah tentu saja akan membutuhkan waktu, khususnya dalam restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan antar instansi pengelola pendidikan. Selain itu juga perlu adaptasi sistem baru dalam praktik pengelolaan sekolah secara operasional. Dan tak kalah pentingnya adalah mengatasi perubahan kultur yang sudah bertahun-tahun terbiasa terjadi dalam masyarakat kita yang selama ini hanya tinggal menikmati.  Pola kekuasaan birokrasi yang dulu terjadi sekarang harus berubah, yang mana kekuasaan tersebut bisa dibagi-bagi (sharing of power ) antara pemerintah daerah dan sekolah yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user.
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah bahwa pendidikan harus mampu melayani, beradaptasi dan bahkan juga ikut menentukan dunia secara makro yang selalu maju dengan cepat. Dan yang perlu kita tahu bahwa sekolah termasuk lembaga yang paling sulit untuk berubah dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan bisnis dan perdagangan.
Dalam lingkungan bisnis global, customer telah mengalami perubahan pesat, baik dalam tuntutan mereka maupun cara mereka memenuhi tuntutannya. Oleh karena itu untuk dapat survive dan berkembang dalam lingkungan yang telah berubah tersebut, manajemen harus merubah paradigma mereka agar sikap dan tindakan mereka dalam menjalankan bisnis menjadi efektif. Paradigma baru tersebut adalah penerapan manajemen mutu terpadu (Total Quality Manajement).
Manajemen peningatan mutu terpadu ini dilaksanakan sebagai suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada lembaga yang dikelolanya. Metode ini mengaplikasikan sekumpulan teknik, yang didasarkan pada ketersediaan data, dan pemberdayaan semua komponen lembaga pendidikan yang secara berkesinam-bungan diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat pengguna hasil pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu pendidikan, meliputi berbagai upaya yang berhubungan dengan :
1.    Proses pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah.
2.    Proses diagnosis terhadap pembelajaran dan upaya tindak lanjut hasil diagnosis.
3.    Proses pelibatan partisipasi semua stake holder untuk kepentingan sekolah.
4.    Proses penyusunan program peningkatan mutu baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Program peningkatan mutu pendidikan didasarkan kepada empat teknik, yaitu:
1.         School Review.
Merupakan suatu proses ketika seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan pihak orang tua dan tenaga professional untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menilai terhadap efektivitas sekolah serta mutu lulusan
2.         Benchmarking.
Merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga melalui tiga pertanyaan mendasar yang akan diwujudkan melalui benchmarking, yakni:
a.    Seberapa baik kondisi kita saat ini?
b.    Harus menjadi seberapa baik kita ini?
c.    Bagaimana cara untuk mencapai yang baik tersebut?
Untuk mewujudkan itu semua dapat ditempuh dengan langkah-langkah yang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
a.     Tentukan fokus.
b.     Tentukan aspek/variable/indikator.
c.      Tentukan standar.
d.     Bandingkan standar tersebut dengan kemampuan yag dimiliki.
e.     Tentukan gap/kesenjangan yang terjadi.
f.       Rencanakan target.
g.     Rumuskan cara-cara dan program-program untuk mencapai target tersebut.
3.         Quality Assurance.
Merupakan suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendi-dikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi ada atau tidaknya penyimpangan yang terjadi pada proses, ada tidaknya pemborosan yang tidak perlu, dan ada tidaknya layanan yang tidak prima.
4.         Quality Control.
Memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti, sehingga da-pat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi sekecil apapun
C.    Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Melalui Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ).
Ada beberapa kebijakan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, yang direkomendasikan oleh pemerintah, diantaranya adalah Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ). Peningkatan mutu tidak dapat dilakukan secara spekulatif. Semua kegiatan yang dilakukan dalam upaya peningkatan mutu harus didasarkan pada tersedianya data yang akurat. Demikian pula tujuan, sasaran, dan target yang akan diwujudkan harus dinyatakan secara jelas, sehingga dapat dievaluasi ketercapaiannya. Upaya peningkatan mutu merupa-kan suatu kegiatan yang kompleks, karena itu harus dicari dan diru-muskan indikator-indikator yang berpengaruhi terhadap mutu tersebut.
Dalam mewujudkan mutu sekolah, semua komponen pendi-dikan, yaitu kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua dan masyarakat harus dilibatkan untuk mengambil peran masing-masing. Konsep ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan manajemen mutu terpadu (MMT), yang sering disebut Total Quality Management (TQM).
Sekolah selama ini menganggap dirinya sebagai unit produksi, di mana siswa dianggap sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah sebagai hasil produksi. Mutu diartikan sebagai lulusan yang mampu mencapai hasil ujian dengan baik. Dalam konsep MMT sekolah dipandang sebagai “unit layanan jasa,” yaitu layanan pembelajaran yang berkualitas.
Sebagai unit layanan jasa, sekolah melayani pelanggan sekolah, yang terdiri dari:
1.      Pelanggan internal, yaitu guru, pustakawan, laboran, teknisi, dan tenaga administrasi.
2.      Pelanggan eksternal, ada 3 jenis yakni :
a.     Pelanggan primer ialah para siswa.
b.     Pelanggan sekunder, ialah orang tua, pemerintah, masyarakat, dan stake holders lainnya.
c.      Pelanggan tertier ialah pemakai lulusan sekolah, baik perguruan tinggi maupun dunia usaha.
Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ) bisa dikatakan sebagai suatu sistem manajemen yang berfokus kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan mutu secara berkelanjutan berupa kepuasan costumers (pelanggan), dengan biaya yang dikeluarkan secara berkelanjutan terus menurun. David, Fred R. (2004: 15) mengemukakan bahwa MMT merupakan suatu cara untuk mengatur organisasi secara menyeluruh dan terintegrasi, dalam rangka untuk menemukan kebutuhan pelanggan secara konsisten, serta meningkatkan kemampuan secara terus menerus dalam berbagai aspek dari setiap kegiatan organisasi.
Adapun komponen-komponen yang terkait dengan mutu pendidikan adalah :
1.      Siswa; meliputi kesiapan dan motivasi belajarnya.
2.      Guru; meliputi kemampuan professional, moral kerja dan kerja samanya.
3.      Kurikulum meliputi relevansi antara konten dan operasionali-sasi proses pembelajarannya.
4.      Dana, sarana dan prasarana; meliputi kecukupan dan keefek-tifan dalam mendukung proses pembelajarannya.
5.      Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan dan perguruan tinggi), meliputi partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan di sekolah. Komponen-komponen mutu tersebut itulah yang harus menjadi fokus perhatian para kepala sekolah.
MMT menganut tolok ukur keberhasilan sekolah yang ketat, yaitu berupa tingkat kepuasan pelanggan internal dan eksternal. Sekolah disebut berhasil jika sekolah tersebut mampu memberi-kan layanan sama atau melebihi harapan-harapan pelanggan.
Beberapa tolok ukur keberhasilan sekolah di dalam melayani pelanggannya :
1.      Siswa merasa puas dengan layanan sekolah, antara lain karena pelajaran yang diterima siswa-siswanya sesuai dengan harapan-harapannya, puas dengan perlakuan guru-guru, pimpinan sekolah, dan semua tenaga kependidikannya, puas dengan fasilitas yang disediakan pihak sekolah, puas dengan manajemen dan sistem administrasi yang dilaksanakan di sekolahnya, puas dengan iklim dan budaya sekolah yang dikembangkannya. Pendeknya semua siswa merasa puas dan menikmati suasana sekolahnya.
2.      Orang tua siswa merasa puas dengan layanan terhadap putra-putri mereka dan juga terhadap mereka sendiri. Mereka merasa puas karena bila ada masalah dapat segera diselesaikan dengan memuaskan, mereka puas karena menerima laporan perkembangan putra-putri mereka secara periodik, mereka puas karena senantiasa dilibatkan dalam merumuskan program-program penting sekolah, dan sebagainya. Pihak pemakai lulusan (perguruan tinggi, industri, dan masyarakat) merasa puas karena menerima lulusan sekolah dengan kualitas yang sesuai dengan harapan mereka.
3.      Guru dan karyawan sekolah merasa puas dengan layanan sekolah, baik yang menyangkut kesejahteraan, hubungan kerja, pembagian kerja, iklim dan budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah.
D.    Implementasi Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ) di Sekolah.
Dalam mengimplementasikan MMT di sekolah, sebaiknya kepala sekolah memperhatikan beberapa hal di bawah ini:
1.         Sifat layanan berorientasi kepada kepuasan pelanggan.
Untuk mewujudkan kepuasan pelanggan kepala sekolah hendaknya berpegang kepada sifat-sifat layanan sebagai berikut:
a.     Menjaga kepercayaan pelanggan (reliability).
Hal ini berarti bahwa layanan harus sesuai dengan yang dijanjikan ketika promosi sekolah, baik yang disampaikan secara lisan dalam pertemuan-pertemuan, maupun pada brosur-brosur yang disebarkan kepada pelanggan. Layanan seperti ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan, secara terus menerus bukan pada saat-saat tertentu.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan kepercayaan pelanggan ialah: kejujuran, keamanan, ketepatan waktu, dan ketersediaan pihak sekolah dalam menerima setiap keluhan pelanggan.
b.     Menjaga keterjaminan kualitas layanan (assurance).
Hal ini berarti sekolah mengupayakan jaminan kualitas layanan yang diberikan kepada semua pelanggan. Hal ini pun harus dilaksanakan secara berkesinambungan, secara terus menerus, bukan hanya sesaat. Beberapa aspek yang berkaitan dengan keterjaminan layanan antara lain: kompetensi, objektivitas, keterampilan, disiplin, dan dedikasi guru serta tenaga kependidikan.
c.      Menjaga penampilan sekolah agar selalu menarik (tangible).
Hal ini berarti situasi dan kondisi sekolah harus terjaga dengan baik, menyangkut kebersihan, kerapihan, kenyamanan, keteraturan, dan keindahan sekolah. Ini pun harus diusahakan secara terus menerus sehingga kesan yang dirasakan oleh semua pelanggan permanen di dalam pikiran dan hati semua pelanggan.
d.     Memberikan perhatian yang hangat kepada semua pelanggan (empathy).
Hal ini berarti sekolah harus secara terus menerus memberikan perhatian yang simpatik kepada semua pelanggan. Beberapa aspek yang berhubungan dengan perhatian antara lain: ramah, aspiratif, komunikatif, simpati, empati, dan senyum hangat.
e.     Tanggap terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan pelanggan (responsiveness).
Hal ini berarti bahwa sekolah harus cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan. Jangan menyepelekan hal-hal yang dikeluhkan pelanggan sekecil apapun. Beberapa aspek yang berhubungan dengan aspek ini ialah kemampuan mendengar keluhan, saran dan tanggapan pelanggan, kemauan melayani, komunikatif dan responsif.
Sifat layanan ini harus dilakukan oleh semua staf sekolah dengan selalu meningkatkan mutu layanannya setiap saat. Untuk keperluan tersebut semua staf harus senantiasa meningkatkan kompetensinya masing-masing secara terprogram.
2.         Langkah-langkah yang ditempuh sekolah, komitmen terhadap mutu.
Untuk mewujudkan layanan prima terhadap para pelanggan sekolah, kepala sekolah hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a.    Mengubah paradigma berpikir ( mind set).
Kepala sekolah, guru, dan semua tenaga kependidikan, hendaknya mengubah paradigma berpikir dari pola pikir konvensional dimana sekolah dianggap sebagai unit produksi dengan pendekatan in-put, proses dan out-put, menuju unit langganan jasa yang berorientasi kepada kepuasan semua pelanggan. Salah satu perubahan prilaku yang terpenting ada-lah dalam memberlakukan siswa, orang tua, kalangan pergu-ruan tinggi, industri, dan masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Sekolah yang melayani mereka, bukan sebaliknya mereka harus melayani sekolah.
b.    Komitmen kepada mutu (quality oriented).
Dalam hal ini pihak sekolah harus senantiasa mengupayakan peningkatan mutu, yaitu kepuasan pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Upaya meningkatkan layanan yang prima tersebut harus berlangsung secara berkelanjutan, tidak hanya layanan sesaat.
c.    Menekankan kepada aspek proses secara sistemik (process oriented).
Hal ini menunjukkan bahwa mutu dibangun oleh proses, jika proses pembelajaran berkualitas maka mutu akan mengarah kepada peningkatan mutu. Setiap kejadian senantiasa diorientasikan kepada prosesnya. Jika seorang siswa melanggar aturan, maka harus pula dianalisis prosesnya secara sistemik, mengapa dia melanggar aturan, bukan hanya menyalahkan mereka. Jadi pemecahan masalah pun harus fokus pada perbaikan sistem yang berjalan.
d.    Berpikir jangka panjang (long term oriented).
Hal ini berarti sekolah di dalam menyusun program/ kegiatan tidak hanya memikirkan kepentingan saat ini, melainkan juga bagaimana kepentingan jangka panjangnya. Sekolah harus memiliki visi yang jelas, bagaimana keadaan sekolah di masa yang akan datang. Sebagai contoh, jika siswa melanggar aturan, pemecahannya bukan hanya bagai mana siswa tersebut menjadi disiplin, tetapi bagaimana agar ke depannya tidak ada lagi siswa yang melanggar aturan.
e.    Senantiasa mempunyai misi untuk pengembangan sumber daya manusia (capacity building).
Hal ini berarti bahwa setiap program yang digulirkan oleh sekolah harus disertai dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya. SDM yang terlatih akan mendukung pencapaian sasaran organisasi dengan lebih mudah dan berkualitas. Hal ini akan mendukung pihak sekolah, mewujudkan layanan prima kepada semua pelanggannya.
f.     Mensosialisasikan MMT yang akan dilaksanakan di sekolahnya kepada semua pelanggan (socialisation).
Hal ini karena MMT tidak hanya dipahami oleh kepala sekolah, tetapi harus juga oleh seluruh guru dan staf. Oleh karena itu diperlukan tahap pengkajian MMT secara bersama-sama sampai ada persamaan persepsi diantara seluruh guru dan staf.Kemudian kepada stake holders lainnya, dengan maksud yang sama yaitu punya kesamaan persepsi, dan berujung pada dukungan yang sebaik-baiknya.
g.    Kepala sekolah harus menyadari pentingnya dukungan arus bawah (bottom up).
Karena itu kepala sekolah harus mampu mengubah perintah dari atas menjadi inisiatif dari bawah. Untuk mewujudkan kondisi tersebut kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan yang delegatif, transfaran, kolaboratif, dan visioner.
h.    Kepala sekolah bila perlu sebaiknya membentuk tim MMT (team building).
Tugas mereka mulai dari menyusun rencana strategis, menyiapkan saran-saran dan menganalisis setiap masalah, kegiatan dan hasilnya, untuk dijadikan masukkan kepada kepala sekolah. Selanjutnya kepala sekolah melaksanakan MMT secara bertahap dan berkesinambungan.
3.         Sekolah menerapkan langkah-langkah strategik membangun mutu.
Pendidikan yang bermutu tidak hanya dapat dilihat dari kualitas lulusannya, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggannya sesuai dengan standar mutu yang berlaku.
Ada beberapa tantangan yang perlu dijadikan bahan kajian dan untuk dilaksanakan secara strategik dalam rangka menerapkan konsep MMT di sekolah, yaitu sebagai berikut:
a.    Dimensi kualitas yang akan diwujudkan.
Ada lima dimensi pokok yang menentukan kualitas penyelenggaraan pendidikan, yaitu:
1)     Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberi layanan yang dijanjikan secara tepat waktu, akurat, dan memuaskan. Beberapa contoh: bahan pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan, jadwal pembelajaran yang fleksibel, ujian yang akurat, pembelajaran yang kreatif, bimbingan yang kontinyu, penyediaan dana yang memadai, dan kelanjutan studi yang lancar.
2)     Tanggap (responsiveness), yaitu kemauan para guru dan semua tenaga kependidikan yang senantisa siap untuk membantu para siswa dan memberi layanan secara akurat. Bebarapa contoh: Kepala sekolah dan guru mudah dihubungi untuk kepentingan konsultasi, proses belajar dilaksanakan secara interaktif, murid mampu mengem-bangkan semua kapasitas yang dimilikinya, secara kreatif, dan kapabel. Fasilitas layanan yang ada mudah diakses oleh setiap orang, administrasi, perencanaan, implementasi, dan evaluasi didisain secara sederhana, tidak rumit, tidak birokratik dan tidak berbelit-belit.
3)     Jaminan (assurance), yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap pelanggan, da-pat dipercaya, dan bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan. Beberapa contoh antara lain: semua tenaga ke-pendidikan harus benar-benar kompeten di bidangnya, re-putasi positif di mata masyarakat, professional dan ramah.
4)     Perhatian (empathy), yaitu mencakup kemudahan dalam berkomunikasi, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Beberapa contoh: mengenal nama siswa dengan baik, mudah dihubungi, bahkan dengan menggunakan e-mail.
5)     Bukti langsung (tangibles), yaitu meliputi ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh sekolah dalam mewujudkan mutu. Beberapa contoh seperti gedung, fasilitas laboratorium, perpustakaan, komputer, ruang kelas, ruang fasilitator, ruang seminar, media pembelajaran, kantin, tempat parkir, jurnal ilmiah, sarana ibadah, fasilitas olah raga, dsb.(Zethmal, dkk., 1990).
Kelima dimensi tersebut, didasarkan pada derajat kepentingan relatifnya para pelanggan. Dimensi-dimensi tersebut menjadi acuan bagi pelanggan untuk menilai kualitas jasa (service quality) dan jasa yang dipersiapkan merupakan ukuran kualitas jasa.
b.    Sesuatu yang fokus pada pelanggan.
Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa kepuasan pelanggan merupakan faktor penting dalam MMT. Oleh karena itu sekolah harus memahami benar siapa pelanggan sekolahnya, dan apa kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Ivancevich, dkk (1996) menyatakan bahwa, langkah pertama dalam menerapkan MMT adalah memandang peserta didik sebagai pelanggan yang harus dilayani. Pandangan ini dikenal secara luas, walaupun tidak diterima secara universal. Ada pandangan tradisional yang menganggap bahwa siswa bukan pelanggan tetapi objek pendidikan. Padahal menurut pan-dangan modern, siswa adalah pemakai akhir (end user) yang harus menjadi fokus utama para penyelenggara pendidikan.
c.    Kepemimpinan transformasional.
Kesadaran akan kualitas di sekolah sangat bergantung pada banyak faktor yang saling berhubungan, terutama sikap kepala sekolah terhadap pemaknaan mutu. Mutu pendidikan adalah proses yang berkepanjangan yang dibangun dengan penuh kesungguhan, Untuk mewujudkan kepemimpinan transformasional, kepala sekolah perlu memiliki karakteristik kepribadian yang mencakup: motivasi kerja, integritas, kejujuran, kepercayaan diri, inisiatif, kreativitas, originalitas, fleksibelitas, kemampuan kognitif, dan kewibawaan. Kepala sekolah perlu memiliki visi yang jelas seperti apa sekolah yang dipimpinnya akan dibangun, sehingga akan menumbuhkan komitmen untuk membangun mutu bagi semua pegawainya, memperhatikan kepuasan pelanggan, menumbuhkan kerja tim yang solid (sense of teamwork) dalam bekerja, dan menumbuhkan standar mutu yang prima (standard of excellence). Visi yang dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan kepada seluruh stake holders sehingga mendapat dukungan dari semua pihak. Ditinjau dari budaya kerja, kepemimpinan seperti disampaikan oleh Hort dalam Stephen R. Covey (2005:319), adalah menciptakan sebuah lingkungan sehingga orang ingin menjadi bagian dari organisasi dan bukan sekedar bekerja untuk organisasi.
d.    Perbaikan berkesinambungan (Continuous quality improvement).
Untuk mewujudkan prinsip perbaikan berkesinambungan berkaitan dengan peningkatan proses berkelanjutan (Conti-nuous process improvement). Komitmen ini diawali dengan pernyataan dedikasi pada visi dan misi bersama, lalu pember-dayaan semua fasilitator untuk mewujudkan visi dan misi.
Selain itu juga ditentukan oleh dua unsur penting, yaitu :
1)     Kajian terhadap proses, alat, dan keterampilan yang tepat.
2)     Menerapkan keterampilan-keterampilan baru dalam berbagai kegiatan sekolah.
Demings W.E.(1986) mengemukakan bahwa proses perbaikan berkesinambungan dapat dilakukan berdasarkan siklus PDAC (Plan, Do, Check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang tak pernah berakhir dan berlaku pada semua kegiatan pendidikan, misalnya penerimaan siswa baru, pembiayaan, evaluasi akhir, dan penjadwalan pembelajaran.
e.    Manajemen sumber daya manusia.
Para pakar manajemen beranggapan bahwa sumber daya manusia merupakan modal yang sangat vital dan sekaligus menjadi pelanggan internal yang akan menentukan kualitas akhir suatu produk dari sekolah. Oleh karena itu sukses tidaknya implementasi MMT di sekolah sangat ditentukan oleh kesiapan, kesediaan, dan kompetensi dari SDM sekolah dalam merealisasikan program-programnya. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigma dalam praktek manajemen sumber daya manusia. Kebijakan manajemen SDM tradisional yang menganut 2C, yaitu Command ( perintah) dan Control (pengendalian) perlu diganti dengan kebijakan baru yang berdasarkan budaya 3C, yaitu Commitment (itikad yang kuat), Cooperation (kerja sama), dan Communication (komunikasi). Jadi MMT diwujudkan lebih ba-nyak dengan kemauan kuat untuk mewujudkan layanan yang baik, kerja sama yang kondusif dan komunikasi yang intensif.
f.     Manajemen berbasis data.
Di dalam implementasi MMT segala keputusan seharusnya diambil berdasarkan data yang akurat yang dihimpun dari berbagai sumber data. Keputusan hendaknya dihindarkan dari intuisi, praduga, dan data yang tidak akurat. Oleh karena itu sekolah harus memiliki sistem pengumpulan data yang tepat, baik secara manual maupun dengan teknologi canggih (IT).

DAFTAR PUSTAKA

Wardiman Djojonegoro. Tanggal 21 Desember 1996. Citra Guru Masa depan. Seminar Nasional Wawasan Profesi Guru Tahun 2000 ICMI Orwil Jawa Timur di Surabaya.
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Sinar Grafika
UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Akdon, 2004, Pengembangan Sekolah di Era Desentralisasi Otonomi Daerah, Mutiara Ilmu, Bandung.
Fattah, 2003, Konsep Managemen Berbasis Sekolah dan Dewan sekolah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
Mulyadi, 2000, Total Quality Management, Aditya Medina, Yogyakarta.
Umaedi, 1999, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta.