Dari data tersebut terlihat bahwa pada awal semester, seharusnya guru sudah membuat RPP, namun baru sekitar 30 % yang melaksanakannya. Dan lebih parah lagi sampai akhir semester masih ada guru yang belum membuat RPP.
Dengan mencermati data-data di atas, dapat dikatakan bahwa kinerja guru belum optimal dan masih jauh dari harapan. Kurang optimalnya kinerja guru tentu ada sebabnya. Menurut Barnawi & Mohammad Arifin (2012 : 43), kinerja guru dipengaruhi beberapa faktor, baik faktor internal maupun eksternal, yang keduanya sama-sama membawa dampak terhadap kinerja guru. Faktor internal kinerja guru adalah faktor yang datang dari dalam diri guru yang dapat mempengaruhi kinerjanya, contohnya : kemampuan, keterampilan, kepribadian, persepsi, motivasi, pengalaman lapangan, dan latar belakang keluarga. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri guru, yang dapat mempengaruhi kinerjanya, seperti misalnya : gaji, sarana-prasarana, lingkungan kerja fisik, iklim organisasi, dan kepemimpinan. Faktor internal dari dalam diri guru dapat direkayasa melalui pre-service training dan in service training. Pada pre-service training, cara yang dapat dilakukan adalah dengan rekrutmen dan seleksi yang memadai, sedangkan pada in-service training dapat dilakukan dengan penyelanggaraan diklat secara berkelanjutan. Faktor eksternal sangat penting untuk diperhatikan, karena pengaruhnya sangat kuat bagi guru dan setiap hari terus menerus mempengaruhi guru sehingga akan lebih dominan dalam menentukan seberapa baik kinerja guru dalam melaksanakan kinerjanya.
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru yang telah diuraikan di atas, dan setelah membaca hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, maka ditentukanlah tiga faktor untuk diteliti, yakni : Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja.
Kepemimpinan Kepala Sekolah adalah cara atau usaha Kepala Sekolah da-lam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan dan menggerakkan guru, peserta didik, orang tua peserta didik dan pihak lain yang terkait untuk bekerja sebaik-baiknya agar bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan Kepala Sekolah kepada semua bawahannya sangat tergantung keprofesionalan seorang Kepala Sekolah sebagai pemimpin. Dengan demikian, kepemimpinan Kepala Sekolah diperkirakan sangat berpengaruh terhadap kinerja guru.
Iklim organisasi sekolah, yang diperkirakan juga mempengaruhi kinerja guru, sangat bergantung pada bagaimana kepemimpinan seorang Kepala Sekolah, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Kepala Sekolah dengan pola perilaku serta modal kepemimpinannya sangat mempengaruhi iklim organisasi sekolah yang dipimpinnya. Seorang Kepala Sekolah harus berusaha mengelola iklim organisasinya, agar dapat menciptakan suasana yang dapat menumbuhkan semangat dan kegairahan bekerja para guru dan staf karyawan bawahannya. Dengan suasana yang demikian, mereka akan merasa tenang dan nyaman dalam bekerja, sehingga kinerjanya meningkat. Iklim organisasi sekolah, bersumber dari hubungan antar guru, kepala sekolah, maupun staf kependidikan lainnya. Iklim, suasa-na, dan dinamika sekolah memiliki peranan yang sangat penting bagi bagi peningkatan kinerja para sumber daya manusia yang ada di dalamnya, terutama kinerja para guru.
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja guru adalah motivasi kerja. Ada beberapa alasan, masalah motivasi kerja akhir-akhir ini hangat dibica-rakan, dalam kaitannya dengan kinerja guru. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar sekolah, motivasi juga bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, serta kemungkinan dari dalam diri guru itu sendiri. Motivasi kerja yang dialami guru, tentu akan mempengaruhi emosi dan proses berpikir dari guru tersebut, dan akibatnya dapat mempengaruhi kinerja para guru.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian tentang kinerja guru ini akan dilakukan pada guru SMK se kabupaten Rembang, dengan judul “Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim organisasi, dan Motivasi kerja, Terhadap Kinerja Guru SMK Di Kabupaten Rembang”.
A. Identifikasi Masalah
Banyak permasalahan yang terjadi sehingga mempengaruhi kinerja guru-guru SMK di kabupaten Rembang. Permasalahan-permasalahan tersebut, diantara-nya adalah :
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam mempengaruhi kinerja guru masih perlu ditingkatkan.
2. Motivasi guru untuk meningkatkan kinerja belum optimal.
3. Motivasi guru untuk berprestasi masih rendah.
4. Komunikasi antar personal belum terjalin dengan baik.
5. Iklim organisasi masih belum kondusif.
6. Konflik organisasi belum teratasi dengan baik.
7. Kegiatan supervisi pembelajaran belum optimal.
8. Reward dan punishment belum berjalan efektif.
9. Kompetensi guru belum dikuasai secara menyeluruh.
10. Komitmen organisasi masih rendah.
11. Budaya kerja belum tercipta dengan baik.
12. Kepuasan kerja guru masih rendah.
13. Kedisiplinan kerja guru masih kurang.
14. Sarana prasarana belum memadai.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, dalam penelitian ini hanya akan dibatasi untuk meneliti dan mengupas permasalahan tentang kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim organisasi, dan motivasi kerja. Alasan dipilihnya ke tiga faktor tersebut, karena dianggap paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan kinerja guru.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap kinerja guru?
2. Adakah pengaruh yang signifikan antara iklim organisasi terhadap kinerja guru?
3. Adakah pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja guru?
4. Adakah pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru ?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru SMK di Kabupaten Rembang” bertujuan untuk :
a. Mengetahui seberapa besar pengaruh kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap kinerja guru.
b. Mengetahui seberapa besar pengaruh iklim organisasi terhadap kinerja guru.
c. Mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja guru.
d. Mengetahui seberapa besar pengaruh kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
Menambah khasanah ilmu manajemen pendidikan, khususnya pengaruh kepemimpinan organisasi, motivasi kerja, dan iklim organisasi, terhadap kinerja guru sehingga dapat mengetahui pemanfaatannya di bidang pendidikan.
2. Manfaat Praktis :
a. Manfaat untuk Guru.
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan kinerjanya sebagai guru profesional, dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
b. Manfaat untuk Kepala Sekolah.
Manfaat bagi Kepala Sekolah, adalah sebagai acuan untuk meningkatkan mutu kepemimpinannya, terutama yang berkaitan dengan perbaikan iklim organisasi dan pemberian motivasi terhadap guru, sehingga akan terwujud peningkatan kinerjanya.
c. Manfaat untuk dinas pendidikan atau dunia pendidikan.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi para pejabat di lingkungan pendidikan, dan pengambil kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja guru SMK di kabupaten Rembang, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di kabupaten Rembang pada khususnya, dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia pada umumnya.
|
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS
A. KAJIAN
PUSTAKA
Dalam
penelitan ini,akan
merujuk beberapa teori para ahli dan penelitian terdahulu, untuk membangun
konstruk teori yang akan digunakan sebagai dasar penelitian dan penyusunan
hipotesis serta penarikan
kesimpulan.
1.
Kinerja
Guru
Kinerja guru merupakan variabel
dependen yang merupakan pokok permasalahan dari penelitian ini, maka perlu
pembahasan lebih lanjut tentang kinerja guru menurut beberapa ahli, yakni sebagai berikut.
a. Kinerja
Disampaikan oleh Werther
(1993 : 140), kinerja adalah sesuatu yang harus
dikerjakan oleh pegawai atau staf, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Gibson (2003:355), job
performance adalah
hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tu-juan
organisasi, efisiensi dan keefektifan kinerja lainnya. Sagala (2007:179-180),
mengemukakan bahwa“kinerja”
dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris “performance” yang berarti
: (1) pekerjaan; perbuatan, atau (2) penampilan;
pertunjukan. Performance berasal dari
kata “to perform” yang berarti melakukan suatu
kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tang-gung jawab dan sesuai dengan hasil
seperti yang diharapkan. Dessler
(1997:513) menyatakan pengertian kinerja
hampir sama dengan prestasi kerja ialah perbandingan antara hasil kerja aktual
dengan standar kerja yang ditetapkan. Dalam hal ini kinerja lebih
memfokuskan pada hasil kerja.
Sedangkan
menurut
Mulyasa (2013 :136), kinerja atau performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian
kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk kerja. Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang
merupakan efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi,
dan
karyawannya berdasarkan standar dan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan
oleh manusia maka kinerja sesung-guhnya merupakan perilaku manusia saat menjalankan
perannya dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar membuahkan tindakan serta hasil yang diinginkan.
Kinerja
dapat diartikan sebagai : (1) catatan
tentang hasil yang
diperoleh dari fungsi-fungsi
pekerjaan atau
kegiatan selama kurun waktu tertentu,
(2) keber-hasilan
seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan,
(3) pekerjaan yang meru-pakan gabungan dari karakteristik
pribadi dan pengorganisasian seseorang,
(4) apa yang harus dikerjakan sesuai tugas dan fungsinya
(Moeheriono, 2011: 65).
Dan
menurut Prawirasentono (1999:2), “performance” adalah hasil kerja yang dicapai oleh
seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
ataupun etika.
Dan
dikemukakan Barnawi & Arifin (2012 :13), kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan
standar kinerja yang telah ditetapkan selama periode tertentu dalam kerangka
mencapai tujuan organisasi. Tingkat keberhasilan dalam bekerja harus sesuai
dengan hukum, moral dan etika.
Setelah
menyimak beberapa pendapat di atas, dapat disampaikan bahwa kinerja
adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang, dan merupakan hasil akhir dari
suatu
aktifitas yang telah dilakukannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perban-dingan antara hasil kerja seseorang dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila hasil kerja yang dicapai
seseorang sesuai dengan standar atau bahkan melebihi standar yang telah ditetapkan, maka dikatakan bahwa kinerja orang tersebut baik. Kinerja yang dimaksud diharapkan menghasilkan kualitas yang baik, namun juga tetap memperhatikan kuantitas yang harus dicapainya.
b. Kinerja Guru
Dalam
Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pasal 39 ayat (2), dijelaskankan bahwa pendidik merupakan tenaga
profesional yang ber-tugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pem-belajaran, melakukan pembimbingan/ pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dalam Undang-undang RI No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab
IV Pasal 20 (a) disampaikan
bahwa standar
prestasi
kerja guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban merencanakan pem-belajaran, melaksanakan proses
pembelajaran
yang bermutu serta menilai
dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Tugas pokok guru tersebut yang
diwujudkan dalam kegiatan belajar mengajar merupakan bentuk kinerja guru.
Sedangkan berdasarkan Permendiknas No.41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Menengah dijabarkan beban
kerja
guru mencakup kegiatan pokok : (1) merencanakan
pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran; (3) menilai hasil
pembelajaran; (4) membimbing dan melatih peserta didik; (5)
melaksanakan tugas tambahan.
Maslow dan Alma (1970:107) menyatakan bahwa “performance” diartikan sebagai
penampilan yang baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seo-rang guru, maksudnya kinerja guru merupakan hasil atau output dari
suatu proses.
Dikutip
dari “Buku Pedoman Penilaian Kinerja Guru bagi Pengawas” oleh Dirjen
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas (2008 : 20), bahwa
kinerja adalah performance atau unjuk kerja. Kinerja dapat pula diarti-kan sebagai prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau juga hasil unjuk kerja.
Kinerja adalah performance is
output
derives
from processes, human
otherwise, artinya, kinerja
adalah hasil dari suatu proses yang
dilakukan manusia, yang meru-pakan suatu wujud perilaku seseorang atau organisasi dengan orientasi prestasi.
Identifikasi
kinerja guru yang baik secara umum menurut Sartika (1999:92) adalah : (1) memahami dan
menghormati siswa; (2) menguasai materi pelajaran yang
diberikannya; (3) memilih metode yang sesuai dengan bahan
pelajaran; (4)menyesuaikan
bahan pelajaran
dengan kesanggupan individu; (5)mengaktifkan
siswa dalam hal belajar atau “learning by doing”; (6)memberikan pengertian, bukan sekedar kalimat belaka; (7) menghubungkan pelajaran
dengan kebutuhan siswa; (8) mempunyai
tujuan dengan tiap pelajaran yang diberikannya.
Selanjutnya
Sartika (1999:100-101) menyampaikan tiga bidang pokok yang menjadi tanggung jawab guru yakni: (1) mempersiapkan pembelajaran; mencakup seluruh kegiatan perencanaan yang harus di
laksanakan seorang guru sebelum memberikan atau menyampaikan materi pembelajaran, meninjau kembali materi pembelajaran, mengembangkan batas-batas latihan, memastikan kesiapan seluruh bahan, alat bantu, maupuntempat, mempersiapkan
daftar nilai dan lain-lain, (2)melaksanakan pembelajaran; meliputi pemberian
partisipasi yang besar, menggunakan landasan keterampilan, pemahaman materi dan
urutan pembelajaran, pelaksanaan metode
maupun strategi yang etektif, serta menggunakan alat bantu
dalam rangka peningkatan mutu atau
keefektifan proses
pembelajaran, (3) menilai hasil-hasil belajar,
meliputi penilaian prestasi secara objektif, mengumpulkan data materi
pembelajaran dan bahan-bahan, serta penilaian kinerja guru itu sendiri.
Menyimak
beberapa pengertian diatas, dapat disampaikan bahwa kinerja guru adalah hasil pekerjaan atau prestasi
kerja yang telah dilakukan oleh seorang guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, meliputi perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan tindak
lanjut penilaian.
c. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Sedangkan menurut Supardi
(2013 : 51), ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja : (1)faktor individual : kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang, (2)faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan
kepuasan kerja, (3)faktor organisasional:
sumber daya, struktur, kepemimpinan, imbalan.
Selanjutnya disampaikan oleh Supardi (2013 : 52),
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja, yakni : (1) variabel individual
: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman,
umur, jenis kelamin, pendidikan, serta faktor individual lainnya; dan (2)
variabel situasional, terdiri dari (a) faktor fisik dan pekerjaan : metode
kerja, kondisi dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan ventilasi/
iklim kerja), (b) faktor sosial dan organisasi : peraturan-peraturan
organisasi, sifat-sifat organisasi, sistim upah, lingkungan sosial.
Disampaikan
oleh Barnawi & Arifin (2012 :43-44) bahwa kinerja guru tidak terwujud begitu saja tetapi dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang datang dari dalam diri guru itu sendiri yang dapat
mempengaruhi kinerjanya, diantaranya adalah : (1)kemampuan, (2) keterampilan,
(3) kepribadian,
(4) persepsi, (5)
motivasi,
(6)pengalaman lapangan, dan (7) latar belakang
keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar yang
dapat mempengaruhi kinerjanya, misalnya :(1) gaji, (2) sarana dan prasarana, (3) lingkungan
kerja fisik, serta (4) kepemimpinan. Faktor eksternal sangat penting untuk
diperhatikan, karena pengaruhnya sangat kuat bagi guru. Bahkan faktor-faktor
itulah yang setiap hari dan terus menerus mempengaruhi guru sehingga akan lebih
dominan dalam menentukan seberapa baik kinerja guru dalam melaksanakan
kinerjanya.
Simanjuntak
(2005 : 10-13) menyebutkan bahwa kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya : (1) kompetensi individu; adalah
kemampuan dan keterampilan melakukan kerja. Kompetensi setiap orang dipengaruhi
oleh beberapa faktoryaitu : kemampuan
& keterampilan kerja, serta motivasi&etoskerja, (2) dukungan organisasi; dalam bentuk pengorganisasian seperti
terciptanya budaya organisasi yang sehat, dan adanya iklim organisasi yang
kondusif seperti penyediaan sarana dan prasarana kerja, pemilihan teknologi,
kenyamanan lingkungan kerja, kondisi dan persyaratan kerja, dan lain-lain, (3)dukungan manajemen kinerja; setiap orang sangat tergantung pada
kemampuan manajerial para manajemen atau pimpinan, baik dengan membangun sistem
kerja dan hubungan industrial yang aman dan harmonis, maupun dengan
mengembangkan kompetensi pekerja, demikian juga dengan menumbuhkan moti-vasi dan memobilisasi
pegawai untuk bekerja secara optimal. Setiap madrasah selalu berusaha
meningkatkan kinerja guru semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya.
Cara untuk meningkatkan kinerja pegawai semaksimal mungkin ini dinilai sangat
penting, sebab dengan dana dan kemampuan yang terbatas manajer harus memilih
suatu cara yang paling tepat untuk dapat mening-katkan kinerja semaksimal mungkin.
Kinerja seseorang dapat ditingkatkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan
dengan keahliannya, begitu pula halnya dengan penempatan guru pada bidang
tugasnya. Menempatkan guru sesuai dengan keahliannya secara mutlak harus
dilakukan. Bila guru diberikan tugas tidak sesuai dengan keahliannya akan
berakibat menurunnya cara kerja dan hasil pekerjaan mereka, juga akan
menimbulkan rasa tidak puas pada diri mereka. Rasa kecewa akan menghambat
perkembangan moral kerja guru. Moral
kerja positif ialah suasana bekerja yang
gembira, bekerja bukan dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan
sebagai sesuatu yang menyenangkan,
mampu
mencintai tu-gas yang menjadi tanggung jawabnya.
Jadi kinerja dapat ditingkatkan dengan cara memberikan pekerjaan kepada seseorang sesuai dengan bidang
kemampuannya.
Menurut pendapat Soeprihanto (1997 : 22-28), ada beberapa faktor
yang dapat meningkatkan kinerja seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) pen-didikan dan latihan, (2) gizi dan kesehatan, (3) motivasi internal, (4) kesempatan kerja, (5) kemampuan manajerial
pimpinan, (6) kebijaksanaan
pemerintah.
Penjelasan
lain yang
dikemukakan oleh Mulyasa (2007:227), sedikitnya terdapat sepuluh faktor yang dapat meningkatkan kinerja guru, baik faktor internal maupun eksternal : (1) dorongan untuk bekerja,
(2)
tanggung jawab terhadap tugas, (3) minat terhadap tugas, (4)
penghargaan terhadap tugas, (5) peluang untuk berkembang, (6)
perhatian dari Kepala Sekolah, (7)hubungan inter personal dengan sesama guru, (8) MGMP dan KKG, (9) kelompok diskusi terbimbing serta (10) layanan perpustakaan.
Dari
berbagai pendapat di atas bahwa faktor yang
mempengaruhi kinerja guru dalam proses pembelajaran adalah :(1) faktor personal/ individual,
meliputi : pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki
oleh setiap individu; (2) faktor dukungan organisasi, meliputi : budaya organisasi, iklim organisasi; (3) faktor dukungan manajemen,
meliputi kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer
dan team leader; (4) faktor kontekstual (situasional), meliputi : tekanan
dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.
d. Standar Kinerja
Guru.
Standar
kinerja perlu dirumuskan untuk dijadikan
acuan dalam menga- dakan penilaian, yaitu membandingkan apa yang
dicapai dengan apa yang
di- harapkan. Standar
kinerja dapat dijadikan patokan dalam mengadakan pertang-
gung jawaban terhadap apa yang telah dilaksanakan.
Menurut
Gomez
(2001 : 142), ukuran kinerja dapat dilihat dari
empat hal : (1) kualitas
hasil kerja
(quality
of
work); (2) ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan (promptness);
(3) prakarsa
(initiative)
dalam
menyelesaikan
pekerjaan;
(4) kemampuan menyelesaikan
pekerjaan (capability); (5) kemampuan
membina kerja sama dengan pihak lain (comunication). Standar kinerja perlu dirumuskan untuk dijadikan
acuan dalam mengadakan penilaian, yakni membandingkan apa yang
dicapai dengan apa yang
diharapkan. Standar
kinerja dapat dijadikan patokan dalam mengadakan pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilaksanakan. Patokan tersebut meliputi : (1)
hasil, mengacu pada ukuran output
utama organisasi; (2) efisiensi, mengacu pada penggunaan sumber
daya
langka oleh organisasi; (3) kepuasan, mengacu pada keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan atau anggotanya; dan (4) keadaptasian, mengacu pada ukuran tanggap anorganisasi terhadap
perubahan. Adapun standar kinerja guru berhubungan
dengan kualitas guru dalam menjalankan tugasnya, seperti : (1)bekerja dengan siswa secara
individual; (2)
persiapan dan perencanaan pembelajaran; (3) pendayagunaan media pembelajaran; (4) melibatkan siswa
dalam berbagai pengalaman belajar; dan (5) kepemimpinan yang
aktif
dari guru.
e. Dimensi-dimensi
dan Indikator Kinerja
Guru.
Masih dikutip dari Buku
“Pedoman Penilaian Kinerja Guru bagi Pengawas” oleh Dirjen Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kemendiknas (2008 : 22), dipaparkan bahwa berkenaan dengan kepentingan penilaian terhadap kinerja guru, Georgia
Departemen
of Education telah
mengembangkan teacher
performance
assessment
instrument
yang kemudian dimodifikasi oleh Depdiknas menjadi Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG), meliputi : (1) rencana pembelajaran (teaching
plans
and
materials)
atau disebut dengan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran);
(2) prosedur pembelajaran (classroom
procedure); dan (3) hubungan antar pribadi (interpersonal skill).
Indikator
penilaian terhadap kinerja guru (Buku
Pedoman Pengawas , 2008 : 23 - 26) dilakukan terhadap tiga
kegiatan pembelajaran di kelas yakni:
1) Perencanaan Program Kegiatan Pembelajaran.
Tahap perencanaan dalam kegiatan pembelajaran adalah tahap yang berhubungan
dengan kemampuan guru menguasai bahan
ajar.
Kemampuan guru dapat dilihat dari cara atau proses penyusunan program kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru, yaitu mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Unsur/ komponen yang ada dalam silabus terdiri dari:
(1)Identitas Silabus, (2) Stándar Kompetensi (SK),
(3) Kompetensi
Dasar
(KD), (4) Materi Pembelajaran,
(5) Kegiatan
Pembelajaran, (6) Indikator,
(7) Alokasi waktu,
(8) Sumber pembelajaran.
Sedangkan
program pembelajaran jangka waktu singkat,
yang sering
dikenal dengan istilah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang
merupakan penjabaran lebih rinci dan spesifik dari silabus,
ditandai adanya komponen-komponen
: (1) Identitas RPP, (2) Stándar Kompetensi (SK),
(3)Kompetensi
dasar (KD),
(4) Indikator,
(5) Tujuan pembelajaran, (6) Materi pembelajaran,
(7) Metode
pembelajaran, (8) Langkah-langkah kegiatan,
(9)Sumber pembelajaran, (10) Penilaian.
2) Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran di
kelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan
yang
ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, dan penggunaan metode serta strategi pembejaran. Semua tugas tersebut merupakan tugas dan tanggung
jawab guru yang
secara optimal
dalam pelaksanaanya menuntut kemampuan
guru.
a) Pengelolaan Kelas;
yakni kemampuan menciptakan suasana kondusif di kelas guna mewujudkan
proses pembelajaran yang
menyenangkan adalah tuntutan bagi seorang guru dalam pengelolaan kelas. Kemampuan guru dalam memupuk kerjasama dan disiplin siswa
dapat diketahui melalui pelaksanaan piket kebersihan, ketepatan waktu masuk dan
keluar kelas,
melakukan absensi setiap akan memulai proses
pembelajaran, dan melakukan pengaturan tempat duduk siswa. Kemampuan lainnya dalam pengelolaan kelas adalah pengaturan ruang/
setting tempat duduk siswa yang dilakukan bergantian, tujuannya memberikan kesempatan
belajar secara merata kepada siswa.
b) Penggunaan Media dan Sumber Belajar; perlu dikuasi guru agar kegiatan pembelajaran lebih menarik dan tidak
membosankan. Media adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan (materi pembela-jaran), merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses pembelajaran. Sedangkan sumber belajar adalah buku pedoman,
yang mana seorang guru juga harus berusaha mencari dan membaca
buku-buku/ sumber-sumber lain yang relevan guna meningkatkan kemampuannya
terutama
untuk keperluan perluasan dan pendalaman
materi, serta pengayaan dalam proses pembelajaran. Kemampuan menggunakan media
dan sumber belajar tidak hanya menggunakan media yang
sudah tersedia seperti media cetak, media audio, dan media audiovisual, tetapi kemampuan guru yang dimaksudkan disini lebih ditekankan pada penggunaan
objek nyata yang
ada di lingkungan sekolahnya. Guru dapat memanfaatkan media yang
sudah ada (by utilization) seperti globe, peta, gambar dan sebagainya, atau guru dapat mendesain sendiri media untuk kepentingan pembelajaran (by
design) seperti membuat media foto,
film, pembelajaran
berbasis komputer, dan
sebagainya.
c) Penggunaan Metode Pembelajaran;
guru diharapkan mampu memilih dan menggunakan metode pembelajaran sesuai dengan materi yang
akan disampaikan. Setiap metode
pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan dilihat dari berbagai sudut, namun yang
penting bagi guru metode manapun yang digunakan harus jelas
tujuan yang
akan
dicapai. Karena siswa memiliki interes yang
sangat heterogen,
seorang
guru harus menggunakan multi metode, yaitu memadukan beberapa
metode pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani kebutuhan
siswa, dan menghindari terjadinya kejenuhan siswa.
3)
Evaluasi/ Pembelajaran.
Adalah
kegiatan/ cara yang
ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang
telah dilakukan. Pada tahap ini,seorang guru dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan
pendekatan
dan cara-cara evaluasi, penyusunan
alat-alat evaluasi, pengolahan, dan
penggunaan
hasil evaluasi.
a)
Pendekatan; meliputi : (1) Penilaian Acuan Norma (PAN); adalah cara penilaian yang
tidak selalu tergantung
pada jumlah soal yang
diberikan atau penilaian dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan hasil belajar yang
dicapai berdasarkan norma kelas. Siswa yang paling besar skor yang didapat di kelasnya, adalah siswa yang memiliki kedudukan tertinggi di kelasnya, dan (2) Penilaian
Acuan
Patokan (PAP); adalah cara penilaian dimana nilai yang
diperoleh siswa tergantung pada seberapa jauh tujuan yang
tercermin dalam soal-soal tes yang dapat dikuasai siswa. Dalam PAP ada
istilah ‘passing grade’ atau batas lulus yang biasa dikenal dengan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM),
yang manasiswa dapat dikatakan lulus atau tidak
berdasarkan KKM
yang telah ditetapkan. Pendekatan PAN dan PAP dapat dijadikan acuan untuk memberikan penilaian
dan memperbaiki sistem
pembelajaran.
b)
Menyusun alat evaluasi;
seorang
guru
dapat
menentukan alat
tes/ evaluasi tersebut
sesuai dengan materi yang disampaikan,
meliputi:
(1) tes tertulis; banyak dipergunakan guru adalah ragam benar/ salah,
pilihan ganda, menjodohkan,
melengkapi, dan jawaban
singkat,
(2) tes lisan; adalah soal tes yang
diajukan dalam bentuk pertanyaan lisan
dan langsung
dijawab oleh siswa secara
lisan, pada umumnya ditujukan untuk mengulang atau
mengetahui pemahaman
siswa
terhadap materi pelajaran
yang telah disampaikan
sebelumnya,
dan (3)
tes
perbuatan; adalah tes yang
dilakukan guru terhadap siswa, misalnya siswa diminta memperagakan suatu perbuatan sesuai dengan materi yang
telah diajarkan, seperti pada mata pelajaran kesenian, keterampilan,
olahraga, komputer, dan
sebagainya. Indikasi
kemampuan guru dalam
penyusunan
alat-alat tes ini dapat digambarkan dari frekuensi penggunaan bentuk alat-alat tes secara variatif, karena alat-alat tes yang
telah disusun pada dasarnya digunakan sebagai alat penilaian
hasil belajar.
c)
Pengolahan dan penggunaan hasil belajar;
ada
dua hal yang
perlu diperhatikan:
(1) jika bagian-bagian tertentu dari materi pelajaran yang tidak dipahami oleh sebagian kecil siswa, guru tidak perlu memperbaiki program pembelajaran, melainkan
cukup memberikan kegiatan remidial bagi siswa-siswa
yang bersangkutan,
(2) jika
bagian-bagian tertentu dari materi pelajaran tidak dipahami oleh sebagian besar siswa, maka
diperlukan perbaikan terhadap program pembelajaran, khususnya berkaitan
dengan
bagian-bagian yang sulit dipahami. Mengacu pada kedua hal tersebut, maka frekuensi kegiatan pengembangan pembelajaran dapat dijadikan indikasi
kemampuan guru
dalam pengolahan dan
penggunaan hasil belajar. Kegiatan-kegiatan
tersebut meliputi : (1) kegiatan remedial, yaitu penambahan jam pelajaran, mengadakan tes, dan
menyediakan waktu khusus untuk bimbingan
siswa, dan (2) kegiatan perbaikan program pembelajaran,
baik dalam
program
semesteran
maupun program satuan pelajaran atau rencana pelaksanaan
pembelajaran, yaitu menyangkut
perbaikan berbagai aspek yang
perlu diganti atau
disempurnakan.
Dapat
disampaikan bahwa penelitian ini menggunakan indikator
kinerja guru merujuk pada UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV
Pasal 20, yakni: (1) perencanaan
pembelajaran; pengembangan silabus, pembuatan
RPP dan pembuatan program
semester/ tahuan (promes/ prota), buku teks pelajaran (2)pelaksanaan
pembelajaran; pengelolaan kelas,
kegiatan pembelajaran (kegiatan awal, inti, akhir), penggunaan media, pemilihan
metode (3) evaluasi pembela-jaran; pendekatan, penyusunan alat evaluasi (4) tindak
lanjut penilaian; analisis
hasil evaluasi peserta didik,
pengayaan dan remedial.
2. Kepemimpinan
Kepala Sekolah.
a.
Kepemimpinan.
Banyak
para pakar manajemen mendefinisikan kepemimpinan, dan mereka mempunyai pendapat
sendiri-sendiri. Dibawah ini
akan diuraikan beberapa konsep dan teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli manajemen dan
peneliti sebelumnya.
Pertama, definisi kepemimpinan yang dikemukakan Stoner,
Freeman dan Gilbert dalam bukunya “Management”,
(alih bahasa oleh Sindoro & Sayaka (1996:161). Definisi kepemimpinan (leadership) yang disampaikan oleh ketiga
orang tersebut adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang
berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok.
Selanjutnya, Stoner dkk. (1996 : 162) menyampaikan ada
4 implikasi penting dalam kepemimpinan : (1) kepemimpinan melibatkan orang lain
(karyawan/ pengikut). Artinya, tanpa orang yang dipimpin (pengikut), sebagus
apapun kepemimpinan seorang manajer menjadi tidak relevan, (2) kepemimpinan
me-libatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota
kelompok, pemimpin memiliki kekuasaan (power),
(3) kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi
atau mengubah tingkah laku pengikut baik individu maupun kelompok dengan
berbagai cara, (4) pemimpin harus memiliki dan menghargai moral kepemimpinan.
Menurut
Sugito (2010: 41), kepemimpinan adalah
kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan
dan mengelola seseorang demi tercapainya tujuan organisasi.
Wherther (1993: 478) mengatakan bahwa kepemimpinan pada
dasarnya merupakan pola hubungan antar individu yang menggunakan wewenang dan
pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk men-capai
tujuan. Kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordina-sikan
dan me-motivasi orang-orang dan
kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki.
Kepemimpinan merupakan kemampuan, proses dan seni
mempengaruhi orang dan kelompok orang agar memiliki kemauan untuk mencapai
tujuan organisasi (Badeni, 2013 : 126).
Kepemimpinan, berarti proses dimana seseorang mempengaruhi
seke-lompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan adalah penga-ruh
interpersonal yang menyebabkan sekelompok orang melakukan apa yang dikehendaki
oleh pemimpin atau manajer untuk dilakukan (Kaswan, 2013 : 2).
Definisi kepemimpinan menurut Kartono (1990:20) adalah :
aktifitas untuk mempengaruhi
orang lain, agar mau bersama-sama melakukan aktivitas-
aktivitas tertentu
demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Toha
(2006 : 5) mengartikan bahwa kepemimpinan adalah
aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan untuk mencapai tujuan
organisasi. Kepemimpinan
adalah inti dari manajemen, begitulah pendapat para ahli tentang kedudukan
sentral kepemimpinan dalam manajemen. Pendapat ini sebenarnya dapat mendukung
pernyataan masyarakat pada umumnya yang menganggap bahwa jatuh bangunnya suatu
organisasi ada di tangan pemimpin atau keberhasilan sebuah organisasi terletak
pada kemampuan pemimpinnya.
Kurniadin & Machali (2013 : 291) menjelaskan bahwa
kepemimpinan (leadership) adalah
kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memo-tivasi, mengajak, mengarahkan,
menasehati, membina, membimbing, melatih, menyuruh, memerintah, melarang, dan
bahkan menghukum (jika perlu) dengan maksud agar manusia sebagai bagian dari
organisasi mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan dirinya sendiri maupun
organisasi secara efektif dan efisien. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa
dalam kepemimpinan terdapat tiga unsur, yakni pemimpin (leader), anggota (followers)
dan situasi (situation).
Setelah menyimak pendapat beberapa ahli tersebut, dapat
disampaikan tentang pengertian kepemimpinan, yakni kemampuan seseorang dalam
suatu hubungan struktur organisasi untuk mengarahkan, membina, memerintah
mengelola dan memotivasi bawahannya, agar bekerja bersama-sama untuk mewujudkan
tujuan organisasi.
b.
Definisi Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Sesuai Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 28 Tahun
2010 tentang Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, menyatakan bahwa Kepala Sekolah adalah guru
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin suatu lembaga sekolah.
Wahjosumidjo (2011:383), berpendapat bahwa Kepala Sekolah meru-pakan pejabat formal, manajer, pemimpin dan pendidik.
Jabatan Kepala Sekolah memerlukan persyaratan universal yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut meliputi keahlian atau kemampuan
dasar dan sifat atau watak.
Selain persyaratan universal juga terdapat persyaratan khusus yang meliputi berbagai macam kemampuan seperti penguasaan terhadap tugas dan keterampilan profesional dan kompetensi administrasi dan pengawasan.
Seorang Kepala Sekolah
disebut profesional apabila: (1) memiliki keju-juran dan integritas pribadi,
(2) mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk bekerja di bidangnya, (3)
memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang dapat
dikategorikan ahli pada suatu
bidang, (4) berusaha mencapai tujuan dengan target-target yang ditetapkan
secara rasional, (5) memiliki standar yang tinggi dalam bekerja, (6) memiliki
motivasi yang kuat untuk mencapai keberhasilan dengan standar kualitas yang
tinggi, (7) mencintai dan memiliki sikap positif terhadap profesinya yang
antara lain tercermin dalam perilaku
profesionalnya dan respons
orang-orang yang berkaitan dengan
profesi/ pekerjaannya, (8) memiliki pandangan jauh ke depan (visionary),
(9)menjadi agen perubahan, (10) memiliki kode etik, (11) memiliki lembaga
profesi (Permen No. 28 Tahun
2010).
Menurut Mantja (2008:18),
kepemimpinan pendidikan yang efektif mempunyai dimensi tujuan yang lengkap dari
tujuan organisasi dan dimensi sasaran penilaian persepsi dari rujukan kelompok
yang dianggap penting.
Baik
atau buruknya sebuah sekolah ditentukan oleh kemampuan pro-fesional pemimpinnya. Oleh sebab itu pemimpin
pendidikan harus mempunyai bekal kemampuan untuk menyusun program
kegiatan, menetapkan prosedur mekanisme kerja, melaksanakan monitoring, membuat
laporan kegiatan, dan memantapkan disiplin guru/
peserta didik (Usman, 2006: 314).
Kepala
Sekolah dengan kepemimpinannya, memiliki peran yang kuat dalam
mengkoordinasikan, menggerakkan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di
sekolah. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya
melalui program-programnya yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap (Mulyasa, 2011:90).
Wahjosumidjo (2011 : 83) menyatakan, Kepala Sekolah adalah seorang tenaga
fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana
diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat dimana terjadi interaksi
antara guru dan murid.
Menyimak
pendapat beberapa ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan
Kepala Sekolah merupakan kemampuan seorang Kepala Sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan dan menggerakkan guru, peserta didik,
orang tua peserta didik dan pihak lain yang terkait untuk bekerja sebaik-baiknya agar bisa
mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dan berperan dalam pengembangan mutu pendidikan.
c.
Dimensi-dimensi Kepemimpinan Kepala
Sekolah.
Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Kepala Sekolah dalam menjalankan kepemimpinan situasional (Wahjosumidjo, 2011 : 385-390) adalah sebagai berikut :
1) Keahlian atau kemampuan dasar; kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin, meliputi : (1) Technical skill; kecakapan spesifik tentang proses, prosedur, atau teknik-teknik dalam menganalisis hal-hal yang khusus. Technical skills
ini menunjukkan
kecakapan yang berhubungan dengan barang, (2) Human
skills;
menunjukkan
keterampilan dengan orang atau manusia, yakni kecakapan pemimpin untuk bekerja secara efektif sebagai anggota kelompok yang dipimpinnya, (3) Conceptual skill; kemampuan pemimpin melihat organisasi sebagai satu keseluruhan.
2)
Kualifikasi pribadi; serangkaian sifat atau watak yang harus dimiliki Kepala Sekolah yang meliputi : (1)mental; unggul dalam intelegensi, mampu memberikan pertimbangan individu yang bagus, memiliki kecakapan dalam menghadapi
persoalan-persoalan abstrak, kecakapan menghadapi, dan bekerjasama dengan orang lain, kesanggupan untuk mempengaruhi orang lain, unggul di dalam kemampuan menulis dan berbicara, (2) fisik; stamina fisik yang prima sangat penting dan diperlukan agar mampu memenuhi tuntutan tugas, kesiagaan, energik dan antusiasme sehari-hari, (3) emosi; seharusnya pemimpin harus memiliki emosi yang stabil dan memiliki daya
tahan atau sikap sabar dalam menghadapi kegagalan atau hambatan, (4)berwatak sosial, (5) kepribadian (personality) ; seorang pemimpin dikatakan memiliki kepribadian apabila pemimpin dalam hal ini kepala sekolah selalu
bersikap, berprilaku, berpikir dan berbuat secara sistematik serta teratur, harus mengetahui modal
atau asset yang dimilikinya dengan segala keterbatasannya; selalu sadar, simpatik dan loyal terhadap bawahannya; cukup yakin untuk menghindarkan tuntutan bawahan
sejalan
terhadap kemauan;
cukup
matang
untuk tidak merasa atau menjadi kecil dalam menghadapi
gertakan atau kritikan, selalu berusaha membuat bawahan senang/ bahagia, membantu bawahan sehingga mereka merasa memperoleh
kemudahan, memberikan dorongan dan menerima bawahan, menciptakan satu lingkungan yang dapat dipercaya, keterbukaan dan rasa hormat terhadap individu.
3. Iklim organisasi.
a. Pengertian
Iklim Organisasi.
Davis dan Newstrom (1995:25) memandang iklim organisasi sebagai kepribadian
sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mengarah pada
persepsi masing-masing anggota dalam memandang organisasi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah serangkaian deskripsi dari
karakteristik organisasi yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi
lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang
organisasi.
Definisi iklim organisasi yang lebih operasional dikemukakan
oleh Stringer (1984:1),yaitu: “asset measurable properties of the work
environment, based on the collective perception of the people who live and work
in the environment and demonstrated to influence their behavior,” atau
bila diterjemahkan, “iklim
organisasi adalah aset
sifat terukur dari lingkungan kerja, berdasarkan persepsi bersama dari orang-orang yang
tinggal dan bekerja di lingkungan tersebut
dan
terbukti mempengaruhi perilaku mereka.
Dikemukakan oleh Robbins (2007 : 4), bahwa iklim organisasi adalah faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi anggota organisasi, yang
biasanya diukur melalui persepsi. Iklim organisasi atau suasana kerja organisasi yang
dilihat, dipikir, dan dirasakan oleh para pekerja diharapkan dapat menimbulkan
suasana kerja yang kondusif, persuasif dan edukatif.
Menurut Gibson, Ivancevich, and Donelly (2003: 702), iklim organisasi merupakan serangkaian sifat
lingkungan kerja yang dinilai langsung ataupun tidak langsung oleh karyawan,
yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku karyawan. Dapat dikatakan
pula bahwa iklim organisasi merupakan gambaran kolektif yang bersifat umum
terhadap suasana kerja organisasi yang membentuk harapan dan perasaan seluruh
karyawan sehingga kinerja organisasi meningkat. Dalam menciptakan iklim
organisasi diperlukan hubungan sosial yang harmonis antara sesama pekerja. Hubungan sosial
mencakup komunikasi baik vertikal maupun horizontal, kerjasama antara para
pekerja, supervisi, dukungan dari bawahan, dan kejelasan tugas yang diemban
oleh masing-masing pekerja. Dengan kata lain, iklim organisasi merupakan
nilai-nilai, kepercayaan, tradisi, dan asumsi yang diberikan kepada para
karyawan, baik yang diekspresikan maupun yang tidak diekspresikan.
Dalam hal pengukuran iklim organisasi, hanya dapat dideskripsikan dan diukur
secara tidak langsung melalui persepsi para anggota dalam suatu organisasi. Secara faktual,
iklim organisasi selalu ada dalam setiap organisasi. Pada umumnya iklim
organisasi berakibat pada setiap karyawan dan setiap pekerjaan yang mereka
lakukan, di mana setiap individu dapat pula mempengaruhi iklim organisasi.
Berdasarkan uraian tentang definisi-definisi iklim organisasi yang
disampaikan diatas, maka dapat disampaikan bahwa iklim
organisasi adalah keadaan di tempat kerja baik fisik maupun non fisik yang mendukung
pelaksanaan tugas dalam organisasi dengan indikator kelengkapan sarana kerja,
kenyamanan ruang kerja, adanya kejelasan tugas, hubungan yang baik dengan
atasan dan rekan kerja, serta sistem penghargaan dan sanksi yang adil.
b. Iklim Organisasi Sekolah.
Disampaikan
oleh Hersey dan Blancard (1998:64),
bahwa aktifitas yang dilakukan oleh manusia dapat berjalan
dengan baik jika situasi dan kondisinya mendukung serta memungkinkan aktifitas
itu terlaksana. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa kondisi lingkungan
kerjaan iklim organisasi sekolah harus diciptakan dengan sedemikian rupa
sehingga guru merasa nyaman dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya.Lingkungan
atau iklim kondusif akan
mendorong guru lebih berprestasi optimal sesuai dengan minat dan kemampuanya.
Lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti lingkungan fisik pekerjaan dan
hubungan kurang serasi antar seorang guru denga guru lainya ikut menyebabkan
kinerja akan jadi buruk.
Adam Indrawijaya mengatakan (1999: 4), bahwa organisasi adalah
suatu proses kerja sama antar sekelompok orang yang satu sama lain saling
mempengaruhi dan tersusun dalam unit-unit tertentu untuk mencapai suatu tujuan
yang sudah ditentukan sebelumnya.
Iklim organisasi
sekolah adalah lingkungan manusia dimana para
guru melakukan pekerjaan mereka.Iklim
organisasi sekolah merupakan serangkaian sifat
lingkungan kerja yang dinilai langsung atau tidak langsung oleh guru yang
dianggap menjadi kekuatan utama dalam mempengaruhi prilaku guru.Yang dimaksud dengan
lingkungan organisasi
adalah kepemimpinan, motivasi, komunikasi, interaksi pengaruh, pengambilan
keputusan, penyusunan tujuan dan pengadilan.
Iklim merupakan sebuah konsep umum yang
mencerminkan kualitas kehidupan organisasi
yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satu
konsep dan pengukuran iklim organisasi ditinjau
dari prilaku pimpinan dan
bawahan. Dua orang peneliti Hoy
dan Miskel telah meneliti perilaku pimpinan
dan bawahan tersebut dalam bidang pendidikan , yaitu perilaku Kepala Sekolah dan guru.
Terdapat enam dimensi iklim yang dipelajarinya, tiga dimensi meru-pakan perilaku Kepala
Sekolah yaitu : supportive,
directive, dan restrictive , dan tiga dimensi lagi merupakan
perilaku guru-guru yaitu : collegial,
intimate dan disengaged. Kombinasi dimensi-dimensi tersebut menghasilkan
empat iklim yang open, engaged dan closed (Hoy
dan Miskel, 2001:190)
Hoy dan Miskel (2001:431), mengemukakan
bahwa :“Organization climate is a relatively
enduring quality of school environment that experience by teachers affect their
behavior, and is based on their collective perception of behavior in school. A
climate emerges through the interaction of members and exchange of sentiment
omong them. The climate of a school is its personality”. Artinya, iklim
organisasi adalah kualitas lingkungan sekolah yang berlangsung secara relatif yang dialami oleh guru memengaruhi
sikap-sikapnya dan itu berdasarkan
kepada
kepentingan secara bersama tentang sikap di sekolah. Suatu iklim timbul melalui
interaksi dari anggota dan pertukaran perasaan diantara mereka iklim organisasi
sekolah adalah kepribadianya.
Dikatakan lebih lanjut oleh Hoy dan Miskel, bahwa
ada tiga konsep iklim yang berbeda telah digambarkan dan dianalisis, yaitu : (1) iklim terbuka; adanya karakteristik
yang efektif, (2) iklim sehat;
adanya dinamika yang lebih sehat dari sekolah yang lebih besar adalah
kepercayaan dan keeterbukaan dalam hubungan antar anggota dan prestasi siswa,
(3) iklim sosial; tersusun dalam rangkaian kesatuan yang
panjang dalam orientasi pengawasan murid dari penjagaan sampai ke
perikemanusiaan. Penjagaan adalah pengawasan baku, timbul dalam konsentrasi
utamanya adalah pemerintah. Sekolah berfikir kemanusiaan adalah karakter dengan
penekanan pada disiplin pribadi siswa dan tukar pendapat pengalaman, serta kegiatan siswa dan
guru. Lingkungan kerja yang kurang mendukung
seperti lingkungan fisik pekerjaan dan hubungan kekurang serasian antara seseorang guru
dengan guru lainnya ikut
menyebabkan kinerja akan buruk.
Dengan demikian, iklim organisasi
sekolah dapat
didefinisikan sebagai suasana lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial pekerjaan yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang terlibat
didalam proses pembelajaran, langsung atau tidak
langsung yang tercipta akibat kondisi kultural organisasi sekolah tersebut.
c.
Dimensi-dimensi
Iklim Organisasi.
Berkaitan dengan iklim organisasi di
dunia pendidikan, khususnya di pendidikan formal (sekolah), Supardi (2013 : 127 - 129) mengemukakan delapan
dimensi yang menjadi karakteristik iklim organisasi sekolah dari Halfin dan Crofts, yang mana 4 dimensi
menyangkut sifat-sifat yang merupakan perilaku pada staf pengajar (faculty behavior), sementara 4 dimensi lagi menyangkut
sifat-sifat yang mencerminkan perilaku Kepala Sekolah (principle behavior). Dimensi yang berkenaan dengan karakteristik
iklim organisasi sekolah yang menyangkut perilaku staf pengajar (guru) terdiri
dari: (1) halangan (hindrance),
(2) kemesraan (intimacy),
(3) ketidak pedulian (disengagement),
dan (4) semangat kerja (esprit).
Sementara dimensi yang memperlihatkan karakteristik yang menyangkut perilaku Kepala
Sekolah mencakup: (1)
penekanan kepada daya produktifitas (productions emphasis),
(2) kesendirian (aloofness), (3) sifat bertimbang rasa (concideration),
dan (4)dorongan dan bimbingan (thrust).
Dimensi yang berkenaan dengan
karakteristik iklim organisasi sekolah yang menyangkut perilaku staf pengajar
(guru) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Halangan (hindrance); tingkah laku ini merujuk kepada halangan-halangan
yang dihadapi guru karena beban kerja dan tanggung jawab yang terlalu banyak.
Disamping itu, terdapat tugas-tugas tambahan seperti dari Kepala Sekolah atau
dinas pendidikan, laporan dan tugas-tugas rutin yang tidak berkaitan dengan
pembelajaran.
2) Kemesraan (intimacy); tingkah laku ini akan melahirkan suasana yang sangat
baik ketika seseorang bertugas sebagai guru. Dirasakan terbentuknya hubungan
internal diantara guru-guru sehingga mereka merasa benar-benar hidup di dalam
masyarakat sekolah sebagai sebuah keluarga. Keadaan ini akan melahirkan
kelompok guru yang bukan saja menjalin persahabatan ketika di sekolah tetapi
juga terjalin di luar sekolah.
3) Ketidak pedulian (disengagement); merujuk kepada
kecenderungan yang ada pada diri guru yang
mengamalkan sikap renggang antara sesama guru. Pada kebiasaannya akan terwujud
kelompok-kelompok yang kurang bekerja sama antara satu sama lain. Kelahiran
kelompok-kelompok ini akan menyebabkan terwujudnya budaya mengumpat, budaya
sakit hati, yang tidak sehat. Akhirnya perbuatan ini akan mengakibatkan
terbentuknya perasaan tidak puas hati di kalangan guru dan mulai mencari jalan
untuk meninggalkan profesi keguruan.
4) Semangat kerja (esprit); merujuk kepada tingkah laku guru yang sangat berpuas hati dengan
tanggung jawab yang dipikul. Guru kelompok ini kelihatan sangat bergembira dan
mempunyai hubungan yang sangat erat diantara satu sama lain. Akibatnya mereka
akan bekerja sama, saling bantu membantu , hormat menghormati serta taat dan
setia kepada rekan kerja dan sekolah. Keadaan ini menyebabkan guru-guru dapat
memenuhi keperluan sosial dan pribadi disamping menghargai kerja-kerja profesi
keguruan.
Dimensi yang berkenaan dengan
karakteristik iklim organisasi sekolah yang berkaitan dengan perilaku Kepala
Sekolah adalah sebagai berikut:
1) Penekanan kepada daya produktifitas (production emphasis); merujuk kepada
perilaku Kepala Sekolahyang terlalu
membuat pengawasan ketat, mengemukakan jadwal tugas guru dan peserta didik
dengan jelas, sering memperbaiki kelemahan guru dan banyak berkomunikasi.
Selain itu, Kepala Sekolah jenis ini kurang peka terhadap reaksi guru,
mementingkan kerja lembur serta menuntut hasil dan menetapkan kemahiran kerja.
2) Kesendirian (aloofness); merujuk kepada
perilaku Kepala Sekolah yang kelihatan
formal, senantiasa berjauhan terhadap tenaga kependidikan dan peserta didik. Di
samping itu, kelompok Kepala Sekolah ini juga terlalu mengikuti peraturan yang
ketat untuk guru-gurunya, tidak terbuka terhadap hasil kunjungan pengawas
kepada guru dan terlalu sering menilai dan memperincikan tugas serta tanggung
jawab guru.
3) Sifat bertimbang rasa (concideration); merujuk kepada
perilaku Kepala Sekolah yang baik hati,
berperi kemanusiaan, memberi perhatian secara pribadi kepada kebaikan guru. Di
samping itu, guru-guru yang dipimpinnya dikenali secara lebih dekat, membantu
mereka menjalankan tugas di sekolah serta senantiasa mempertahankan guru dalam
keadaan yang sepatutnya. Kepala Sekolah juga senantiasa bertoleransi.
4) Dorongan
dan bimbingan (thrust); merujuk kepada perilaku
Kepala Sekolah yang memimpin melalui teladan. Mereka akan bekerja keras
sebelum bawahannya juga bekerja dengan gigih. Mereka pada kebiasaannya amat
aktif dan senantiasa peka kepada dunia pendidikan. Oleh karena itu, Kepala
Sekolah kelompok ini memiliki sikap dan perbuatan yang tidak mengharapkan guru
memberi lebih dari dirinya sendiri.
Bila dikaitkan dengan permasalahan
penelitian, pendapat Halfin dan Crofts di atas juga lebih berfokus pada pengukuran iklim
organisasi sekolah.
4. Motivasi
kerja.
a.
Teori Motivasi
Kerja.
Ada
beberapa teori tentang motivasi,
diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Stoner, Freeman dan Gilbert dalam
bukunya “Management” (alih bahasa
oleh Sindoro & Sayaka, 1996 :136 – 158 ) diantaranya adalah teori Dua Faktor Herzberg-Hygiene. Teori ini dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg, yang
mengembangkan teori kepuasan yang disebut teori dua faktor tentang motivasi.Menurut Herzberg, ada
dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan
menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor hygiene/ pemeliharaan (faktor
ekstrinsik) dan faktor motivator/
motivasional
(faktor intrinsik). Faktor hygiene memotivasi seseorang untuk keluar dari
ketidakpuasan, termasuk di dalamnya adalah kebijakan personalia dan praktek-praktek manajemen
perusahaan dima-na
suatu pekerjaan dilakukan, supervisi teknis yang diterima pada pekerjaan
tersebut, hubungan antara individu dengan supervisor dan kolega, dan kualitas
kerja (faktor
ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha
mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah penca-paian/ penyelesaian pada suatu
pekerjaan, pengenalan untuk menyelesaikan pekerjaan, sifat pekerjaan dan tugas
itu sendiri, kelanjutan dan pertumbuhan dalam kemampuan pekerjaan (faktor intrinsik).
Jika dalam situasi kerja faktor-faktor Hygiene tidak ada, Herzberg merasa
bahwa karyawan tidak akan menda-pat
kepuasan. Namun adanya hygiene faktor juga tidak memotivasi karyawan melainkan
hanya membantu mencegah adanya ketidak puasan. Dalam hal ini juga berlaku pada
faktor-faktor motivator, dan jika faktor motivator ada maka dapat memberikan
motivasi dan kepuasan kerja pada tingkatan yang lebih tinggi. Motivator ini
mempunyai kaitan yang setaraf dengan kebutuhan akan harga diri dan kenyataan
diri yang dikemukakan oleh Maslow.
Teori dua faktor yang dikemukakan oleh
Herzberg menyimpulkan dua faktor sebagai berikut: (1) Ada sejumlah kondisi
ekstrinsik pekerjaan yang apabila kondisi itu tidak ada, menyebabkan
ketidakpuasan diantara para karya-wan.
Kondisi ini disebut dengan Hygiene faktor, karena kondisi atau faktor-faktor
tersebut dibutuhkan minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor
ini berkaitan dengan keadaan
pekerjaan yang meliputi: gaji, hubungan antara pekerja, jaminan sosial, kondisi
kerja dan kebijakan perusa-haan.
Sejumlah kondisi intrinsik pekerjaan yang apabila kondisi tersebut ada maka
dapat berfungsi sebagai motivator, yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang
baik. Tetapi jika kondisi atau faktor-faktor tersebut tidak ada, maka tidak
akan menyebabkan adanya ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut berkait-an dengan isi pekerjaan
yang disebut dengan nama faktor pemuas. Faktor-faktor pemuas tersebut adalah sebagai
berikut: prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan-kemajuan, pertumbuhan
dan perkem-bangan
pribadi.
Teori
dua faktor ini disebut
juga konsep Hygiene yang mencakup: (1)
Isi pekerjaan (content
=
satisfiers):
prestasi (achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self), tanggung jawab (responsible), pengembangan potensi
individu (advancement); dan(2) Faktor Higienis (demotivasi/ dissatisfiers) : Gaji atau upah (wages or salaries), kondisi kerja (working condition), kebijakan dan administrasi
perusahaan (companypolicy
and administration), hubungan antar pribadi, kualitas supervisi. Tidak adanya
kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi
jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja
yang baik. Oleh karena itu, faktor ekstrinsik tersebut disebut sebagai pemuas
atau motivator.
Teori dua faktor Herzberg mengasumsikan
bahwa hanya beberapa ciri pekerjaan dan karakteristik dapat menghasilkan
motivasi. Beberapa karakteristik yang menjadi fokus manajer akan bisa
menghasilkan kondisi kerja yang nyaman, tetapi tidak memotivasi karyawan.
Motivasi ini diukur dengan cara mewancarai karyawan untuk menguraikan kejadian
pekerjaan yang kritis. Baik
faktor motivasional maupun faktor pemeliharaan berpengaruh besar terhadap
motivasi seseorang. Meskipun demikian bukanlah sesuatu yang mutlak dapat
dikuantifikasi, karena motivasi berhubungan dengan berbagai komponen yang
sangat kompleks.
Masalah yang dihadapi oleh guru berbeda
dengan apa yang dihadapi oleh
karyawan perusahaan. Guru, di samping menghadapi permasalahan dalam ber-hubungan dengan siswa,
juga dalam berhubungan dengan Kepala Sekolah dan pejabat di atasnya. Proses
belajar mengajar dalam organisasi sekolah mempu-nyai masalah tersendiri. Guru sekolah
lanjutan pada umumnya berinteraksi dengan banyak siswa setiap hari pada situasi
yang hampir sama dan terkadang bersifat pribadi, lebih-lebih guru borongan atau
self-contained classroom.
Dari uraian di atas maka faktor
motivasional yang bersifat intrinsik dan faktor pemeliharaan yang bersifat
ekstrinsik mempunyai pengaruh besar terhadap motivasi seseorang dan dapat
dijadikan dimensi standard
pengukuran motivasi kerja guru.
Faktor-faktor faktor pemeliharaan (ekstrinsik) meliputi: (1) upah, (2)kondisi kerja, (3) keamanan kerja, (4) status, (5) prosedur perusahaan, (6)mutu penyeliaan, (7) mutu hubungan
interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan bawahanya. Keberadaan
kondisi-kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka.
Tetapi ketidakberadaannya menye-babkan
ketidakpuasan bagi karyawan, karena mereka perlu mempertahankan setidaknya
suatu tingkat ”tidak ada kepuasan”, kondisi ekstrinsik
disebut faktor pemeliharaan, atau faktor hygiene.
Sedangkan faktor motivasional
(Intrinsik) meliputi : (1) prestasi (achievement), (2) pengakuan
(recognition), (3) tanggung jawab (responsibility), (4) kemajuan (advancement), (5) pekerjaan itu
sendiri (the work itself), (6) kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
Faktor-faktor motivator tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)
Prestasi (achievment)
adalah kebutuhan untuk
memperoleh prestasi di bidang
pekerjaanyang ditangani. Seseorang yang
memiliki keinginan ber-prestasi sebagai
kebutuhan “need” dapat mendorongnya mencapai sasaran.
2)
Pengakuan (recoqnition) adalah kebutuhan untuk memperoleh pengakuan
dari pimpinan atas hasil karya/ hasil kerja yang telah dicapai.
3)
Tanggung jawab (responsibility) adalah kebutuhan untuk memperoleh
tanggung jawab
dibidang pekerjaan yang ditangani.
4)
Kemajuan (advancement) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan karier (jabatan).
5)
Pekerjaan itu sendiri (theworkitself) adalah kebutuhan untuk dapat menangani
pekerjaan
secara aktif sesuai minat
dan bakat.
6)
Kemungkinan berkembang (the possibility
of growth) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan karier.
b.
Pengertian Motivasi
Kerja.
Dalam kehidupan sehari-hari, hubungannya dengan perilaku
organisasi, istilah
motivasi memiliki pengertian beragam. Dan apapun pengertiannya, yang jelas motivasi merupakan unsur
penting dalam diri manusia, yang berperan mewujudkan keberhasilan dalam usaha
atau pekerjaan manusia.
Dari perkembangan berbagai teori,
terutama yang berkaitan dengan teori tentang penggerak bawahan, teori motivasilah yang paling banyak dipergunakan.
Kenyataan ini menurut Siagian (2002:102),
manusia mengaitkan kekaryaannya dengan pemuasan berbagai kebutuhan dan
keinginannya. Motivasi
merupakan daya dorong bagi seseorang
untuk melakukan sesuatu agar tercapai
tujuanya. Dengan pengertian, tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai
pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa sebuah
organisasi hanya akan berhasil mencapai tujuan dan berbagai sasaranya, apabila
semua komponen organisasi
(anggota
organisasi) berupaya menampilkan kinerja yang optimal.
Stoner, Freeman dan Gilbert (alih
bahasa oleh Sindoro & Sayaka, 1996 : 134) mengemukakan bahwa motivasi adalah faktor-faktor yang menentukan prestasi kerja
seseorang. Motivasi merupakan
peralatan yang dapat dipakai oleh manajer untuk mengatur hubungan pekerjaan
dalam organisasi. Bila manajer mengetahui apa yang membuat orang mau bekerja
untuk mereka, maka merekapun akan menyesuaikan penugasan pekerjaan dengan suatu
imbalan yang membuat mereka mau beraksi.
Gibson, Ivancevich, dan Donnely
(2003:94) memberikan
batasan motivasi adalah suatu kemampuan yang kita gunakan jika kita menguraikan
kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk
memulai dan mengarahkan perilaku. Lebih lanjut ditegaskan bahwa motivasi
merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal, atau eksternal bagi
seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan
presistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Gary ( 1997:123) mengemukakan
bahwa motivasi merupakan serang-kaian proses yang memberikan semangat bagi prilaku
seseorang dan mengarahkannya kepada pencapaian beberapa tujuan atau secara
lebih singkat untuk mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang harus
dikerjakan secara sukarela dan dengan baik. Dikatakan
juga bahwa
”motivasi
tertsebut ikut menentukan tinggi rendahnya prestasi kinerjanya”.
Menurut
Sondang (2002:138-139), motivasi mengandung
tiga hal yang sangat penting,
yaitu: (1) pemberian motivasi
berkaitan langsung dengan usaha pencapaian ujuan dan berbagai sasaran
organisasi tersirat pada pandangan ini bahwa dalam tujuan dan sasaran
organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran pribadi para anggota organisasi
yang diberikan motivasi tersebut,
(2) motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha
dengan perumusan kebutuhan tertentu. Dengan demikian perkataan lain, motivasi
merupakan kesediaan untuk mengarahkan usaha tingkat tinggi untuk mencapai
tujuan organisasi. Akan tetapi kesediaan mengarahkan usahanya sangat tergantung
pada kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya, (3) yang terlihat dalam
beberapa definisi motivasi di atas ialah kebutuhan. Dalam usaha pemahaman teori
motivasi dan aplikasinya, yang dimaksud dengan kebutuhan adalah keadaan internal
seseorang yang menyebabkan hasil usaha tertentu menjadi menarik. Artinya suatu
kebutuhan yang belum terpuaskan menciptakan kete-gangan yang akan menimbulkan dorongan
tertentu dalam diri seseorang. Seseorang
pekerja yang termotivasi sesungguhnya berada pada suasana ketegangan, dan untuk menghilangkannya seseorang harus melakukan sesuatu.
Disampaikan oleh
Sedarmayanti (2009:104), bahwa motivasi sebagai
keseluruhan proses pemberian motif kerja kepada para bawahan sedemikian rupa
sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas
demi tercapainya tujuan organisasi dengan efektif dan efesien.
Dikemukakan oleh Sedarmayanti (2009:105) bahwa motivasi
adalah keinginan yang terdapat pada diri seorang individu yang merangsangnya
untuk melakukan tindakan-tindakan.
Motivasi adalah “Direction
or motivation
is essence, it I skill
in aligning employee and organization interest so that behavior result in
achievement of employee want stimula-neously
with attainment or organizational objectives” (motivasi
adalah suatu keahlian, dalam menerangkan guru dan organisasi agar mau bekerja secara
berhasil, sehingga keinginan para guru dan tujuan organisasi sekaligus
tercapai).
Hasibuan (2010:143-144) mengemukakan tentang definisi motivasi yak-ni: “Motivation is usually
refined the initiation and direction of behavior, and direction of behavior,
and the study of motivation is in effect the study od course of behafior (motivasi secara umum
didefinisikan
sebagai inisiasi dan pengarahan tingkah laku.
Motivasi
yakni pemberian daya
penggerak yang men-ciptakan
kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan
terintegerasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai tujuan.
Menurut Handoko (2001: 252), jika
dilihat dari fungsinya motivasi terbagi menjadi dua : (1) motivasi intrinsik (internal);
adalah motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, diri
individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan, berbagai kebutuhan
keinginan dan harapan yang terdapat di dalam pribadi seseorang menyusun
motivasi internal orang tersebut. Kekuatan ini mempengaruhi pribadinya dengan
menentukan berbagai pandangan, yang menurut giliran untuk memimpin tingkah laku
dalam situasi yang khusus.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan motivasi
internal (Juliani, 2007:13),
yakni : (a) Kepentingan yang
khusus bagi seseorang, menghendaki, dan menginginkan adalah merupakan hal yang
unik baginya, dan
(b)kepentingan dan hasrat
seseorang adalah juga unik karena kesemuanya ditentukan oleh faktor yang
membentuk kepribadiannya, penampilan biologis, psiologis dan psikologisnya.
Faktor intrinsik
disebut juga motif atau pendorong, jika dua faktor ada yaitu intrisik dan
extrinsik maka pekerja dapat mencapai kepuasan kerja tetapi jika tidak ada
bukan berarti kepuasan kerja tidak tercapai. yang termasuk dalam faktor
intrinsik adalah pencapaian, penguatan, tanggungjawab, peningkatan status tugas
itu sendiri dan kemungkinan berkembang,
(2) motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi dengan adanya dorongan dari luar individu. Motivasi ekstrinsik
meliputi kekuatan yang ada di luar diri individu seperti halnya faktor
pengendalian oleh atasan juga meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan
seperti gaji/ upah, keadaan kerja, kebijaksanaan dan pekerjaan yang mengandung
penghargaan, pengembangan dan tanggung jawab.
Bedasarkan pengertian dari para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi sebagai energi untuk membangkitkan
dorongan dari dalam diri guru,
yang berpengaruh membangkitkan,
mengarahkan dan memelihara perilaku berkaitan dengan lingkungan kerja, jadi
motivasi adalah dorongan dari diri guru untuk memenuhi kebutuhan yang
berorientasi kepada tujuan individu dalam mencapai rasa puas, kemudian
diimplementasikan
kepada orang lain untuk memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat.
c.
Dimensi dan
Indikator-indikator Motivasi Kerja.
Setelah mempelajari berbagai
teori tentang motivasi,
maka dalam penulisan tesis ini
menggunakan acuan teori motivasi yang dianggap paling relevan, yaitu Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg, yang
mengembangkan teori kepuasan yang disebut teori dua faktor tentang motivasi.
Faktor Intrinsik (faktor
motivasional) meliputi: (1) kesempatan untuk berprestasi (achievement), (2) pengakuan dari teman
sejawat (recognition), (3)merasa bangga dengan pekerjaan sebagai
guru (responsibility), (4) tanggung jawab atas pekerjaannya (advancement), (5) pekerjaan
itu sendiri (the work itself), (6) kesempatan
untuk meningkatkan karir (the
possibility of growth). Faktor ekstrinsik (faktor pemeliharaan), diantaranya:
(1) gaji/ honor yang dite-rima, (2) kondisi kerja yang
menyenangkan, (3) kebijakan
pimpinan sekolah, (4) hubungan
antar pribadi (Stoner, Freeman dan
Gilbert, alih bahasa oleh Sindoro & Sayaka, 1996 :144).
5.
Penelitian
Terdahulu yang Relevan.
Penelitian-penelitian terdahulu yang
relevan, tentang kinerja
guru, baik yang dikaitkan kepemimpinan Kepala Sekolah, motivasi kerja
maupun iklim organisasi antara lain :
a. Wahyudi dan Suryono (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai di Bagian Keuangan Setda Kabupaten Boyolali”,
menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan,
motivasi dan lingkungan kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja pegawai
Kantor Informasi Komunikasi
dan Kehumasan Kabupaten Boyolali.
Dinyatakan juga bahwa di antara ketiganya, variabel yang paling
dominan pengaruhnya
terhadap kinerja pegawai Kantor Informasi Komunikasi
dan Kehumasan
Kabupaten Boyolali adalah variabel gaya kepemimpinan. Dan berdasarkan hasil koefisien determinasi
menunjuk-kan bahwa
gaya kepemimpinan, motivasi dan lingkungan kerja memberikan
sumbangan sebesar 78,8% terhadap kinerja (Y) pegawai Kantor Informasi Komunikasi dan Kehumasan Kabupaten Boyolali.
b. Susanto (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru SMK”,
menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan:
(1) kompetensi guru dan kepemimpinan
Kepala Sekolah terhadap
motivasi kerja guru SMK di Kabupaten
Hulu
Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan taraf signifikansi 0,038; 0,045;
dan 0,001; (2)kompetensi guru, kepemimpinan Kepala Sekolah, dan motivasi kerja guru
terhadap kinerja guru SMK di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan,baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dan secara langsung atau tidak langsung taraf signifikansi 0,036; 0.003; 0,036;
0,000; (0,038 dan 0,036); (0,045 dan 0,036).
c. Zainudin (2010), dalam penelitiannya “Hubungan
Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah, dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Guru SMK
Negeri di Kota Malang” menyimpulkan
bahwa (1) tingkat perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah SMK
Negeri di Kota Malang termasuk kategori tinggi (efektif) yakni mencapai 44,8 %
(2) tingkat iklim sekolah SMK Negeri di Kota Malang termasuk kategori sedang
65,7% (3) tingkat motivasi kerja SMK Negeri di Kota Malang termasuk kategori
sangat tinggi 50,5%, (4)tingkat kinerja guru SMK Negeri di Kota Malang termasuk
kategori tinggi 94,3%, (5) terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku
kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim sekolah, dan motivasi kerja dengan kinerja
guru SMK Negeri di Kota Malang; (6)
terdapat hubungan yang signifikan antara iklim sekolah dengan kinerja guru SMK
Negeri di Kota Malang;
(7) terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru
SMK Negeri di Kota Malang.dan (8) terdapat hubungan yang signifikan antara
perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah
dan iklim sekolah dengan
motivasi kerja guru SMK Negeri di Kota Malang.
d. Kiswanti, Wahyudi, Syukri ( 2012 ) dalam penelitiannya “Pengaruh Gaya Ke-pemimpinan Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Guru”, menyimpulkan bahwa (1) pengaruh gaya kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap kinerja guru di SMP Negeri sub Rayon 04. Pontianak tinggi yaitu mencapai 80,10%; (2) Iklim organisasi sekolah memiliki pengaruh terhadap kinerja guru di SMP Negeri sub Rayon 04 Pontianak sebesar 66,59%; (3) gaya kepemimpinan kepala sekolah dan iklim organisasi sekolah secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap kinerja guru di SMP Negeri sub Rayon 04 Pontianak sebesar 80,10%. Hal ini berarti bahwa gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dan iklim organisasi sekolah mempunyai pengaruh terhadap kinerja guru di SMP Negeri sub Rayon 04 Pontianak.
B.
KERANGKA PIKIR.
Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kemampuan
seorang
Kepala Sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan
dan menggerakkan guru, peserta didik, orang tua peserta didik dan pihak lain
yang terkait, untuk bekerja sebaik-baiknya agar bisa mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, serta berperan dalam pengembangan
mutu pendidikan. Kepemim-pinan Kepala Sekolah
tersebut akan dapat mempengaruhi kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran.
Iklim organisasi sekolah dikatakan sebagai suasana lingkungan
sekolah, baik fisik maupun sosial yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang
terlibat didalam proses pembelajaran, langsung atau tidak langsung yang
tercipta akibat kondisi kultural organisasi sekolah tersebut. Dapat disampaikan
bahwa iklim organisasi sekolah berpengaruh pada kinerja guru dalam kegiatan
pembelajaran.
Motivasi diartikan sebagai dorongan dari diri guru untuk
memenuhi kebu-tuhan yang berorientasi kepada tujuan individu dalam mencapai
rasa puas, kemudian diimplementasikan kepada orang lain untuk memberikan
pelayanan yang baik pada masyarakat. Dengan demikian motivasi kerja tersebut
berpengaruh pada kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran.
Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kemampuan
seorang
Kepala Sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan
dan menggerakkan guru, peserta didik, orang tua peserta didik dan pihak lain
yang terkait untuk bekerja sebaik-baiknya agar bisa mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, serta berperan dalam pengembangan
mutu pendidikan , dan jika iklim organisasi
sekolah dikatakan sebagai suasana lingkungan sekolah, baik fisik maupun sosial
yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang terlibat didalam proses
pembelajaran, langsung atau tidak langsung yang tercipta akibat kondisi
kultural organisasi sekolah tersebut, dan jika motivasi diartikan sebagai
dorongan dari diri guru untuk memenuhi kebutuhan yang berorientasi kepada
tujuan individu dalam mencapai rasa puas, kemudian diimplementasikan kepada
orang lain untuk memberikan pelayanan yang baik. Berarti bahwa kepemimpinan Kepala
Sekolah, iklim organisasi, maupun motivasi kerja, ketiganya secara bersama-sama
akan berpengaruh pada kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran.
Kerangka pikir penelitian dapat ditunjukkan oleh gambar berikut :
Dengan merujuk hasil-hasil
penelitian dari para peneliti terdahulu, maka diduga hasil penelitian tersebut
juga signifikan terhadap penelitian ini, yakni “terdapat pengaruh kepemimpinan Kepala
Sekolah, motivasi kerja dan iklim organisasi terhadap kinerja guru SMK di
kabupaten Rembang”.
C.
HIPOTESIS.
Dari
kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yaitu :
1.
Ada pengaruh yang signifikan antarakepemimpinan
Kepala Sekolah dengan kinerja guru.
2.
Ada pengaruh yang signifikan antaraiklim
organisasi dengan kinerja guru.
3.
Ada pengaruh yang signifikan antaramotivasi
kerja dengan kinerja guru.
4.
Ada pengaruh secara bersama-sama
antarakepemimpinan Kepala Sekolah, motivasi kerja, dan iklim organisasi dengan kinerja
guru.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Pendekatan
Penelitian.
Penelitian ini menggunakan
paradigma kuantitatif dengan pendekatan korelasional, dimaksudkan
untuk menjajaki kemungkinan adanya jalinan/ hubung-an kausal (sebab-akibat)
pada variable, antara variabel bebas (independent) ter-hadap variabel terikat
(dependent).
Untuk menyusun penelitian secara terstruktur, akan dibuat
rancangan penelitian, yang merupakan langkah langkah dalam mengadakan
penelitian yang dimulai dari observasi awal.
Dan selanjutnya ditemukan permasalahan yang menarik, untuk membuat
penelitian tentang apa saja yang
mempengaruhi kinerja guru SMK. Setelah melakukan survei awal, menentukan kajian
teori dan penelitian yang relevan. Penyusunan hipotesis dilakukan setelah
mendapatkan teori pendukung, selanjutnya menyusun instrumen penelitian untuk
mengukur variabel bebas dan terikat, untuk mengumpulkan data selanjutnya diolah
untuk membuktikan hipotesis. Langkah terakhir mengambil kesimpulan dari
pengolahan data tersebut. Diharapkan setelah merancang penelitian ini, langkah
langkah ini harus dilakukan secara urut sehingga tidak terjadi kesalahan saat
melakukan penelitian dan pengambilan keputusan.
Penelitian ini
dilakukan untuk mencari jawaban mengenai apakah suatu variabel independent
dapat mempengaruhi variabel dependent. Dalam hal ini variabel independentnya
adalah Kepemimpinan Kepala Sekolah (X1), Iklim Organisasi (X2), dan motivasi kerja (X3),
sedangkan variabel dependentnya adalah kinerja guru (Y). Dalam
penelitian ini akan menentukan adakah pengaruh yang signifikan antara :
1. Variabel
X1 terhadap variabel Y.
2. Variabel
X2 terhadap variabel Y.
3. Variabel
X3 terhadap variabel Y.
4. Variabel
X1, X2 dan X3 secara bersama-sama terhadap Y.
B. Obyek
Penelitian.
Kepala Sekolah dan guru SMK se kabupaten Rembang.
C. Populasi dan Sampel.
Dalam penelitian ini, populasinya adalah semua guru SMK di kota Rembang, dengan perincian sebagai berikut :
Sedangkan untuk menentukan jumlah sampelnya digunakan tabel dari Isaac dan Michael berdasarkan tingkat kesalahan 5 %, dengan populasi seba-nyak 470 orang, maka dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah sampel minimal adalah 286 orang (Sugiyono, 2013: 161-Tabel 4.1)
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan proportionate stratified random sampling (Sugiyono, 2013 : 152).
D. Variabel
Penelitian dan Definisi Operasional Variabel.
1) Variabel
Penelitian.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel bebas (independent) :
1)
Kepemimpinan Kepala Sekolah (X1).
2)
Iklim Organisasi (X2).
3)
Motivasi kerja
(X3)
b. Variabel terikat (dependent ) : Kinerja guru (Y)
2) Definisi
Operasional Variabel.
a.
Kepemimpinan
Kepala Sekolah.
Indikator-indikator
yang yang akan diukur adalah (a) Kemampuan dasar sebagai pemimpin, meliputi : (1) keterampilan teknik (technical skill), (2) keterampilan kemanusiaan (human skills), (3) keterampilan konseptual (conceptual
skill);
dan (b) Kualifikasi
pribadi,
meliputi : (1) mental, (2) fisik, (3)emosi, (4) berwatak
social, (5) kepribadian.
Sumber : Wahjosumidjo
(2011 : 385-390)
b.
Iklim
Organisasi.
Indikator-indikator
yang yang akan diukur adalah (a) Perilaku staf pengajar (guru), meliputi : (1)
halangan (hindrance), (2) kemesraan (intimacy), (3) ketidakpedulian (disengagement), (3) semangat kerja (esprit); dan (b)Peri-laku Kepala
Sekolah, meliputi : (1) penekanan kepada daya produktifitas (production emphasis), (2) kesendirian (aloofness), (3) sifat bertimbang rasa (consideration), (4) dorongan serta bimbingan
(thrust)
Sumber : Dimensi
Iklim Organisasi dari Halfin dan Crofts
(Supardi, 2013 : 127 - 129)
c.
Motivasi
Kerja.
Indikator-indikator
yang yang akan diukur adalah (a) Faktor Intrinsik (factor motivasional),
meliputi : (1) kesempatan untuk berprestasi (achievement),
(2)pengakuan dari teman sejawat (recognition), (3) merasa bangga dengan pekerjaan sebagai guru (responsibility), (4) tanggung jawab
atas pekerjaannya (advancement), (5)
pekerjaan itu sendiri (the work
itself), (6) kesempatan untuk meningkatkan karir (the possibility of growth); dan
(b) Faktor ekstrinsik (faktor pemeliharaan), meliputi L: (1) gaji atau
honor yang diterima, (2) kondisi kerja yang menyenangkan, (3) kebijakan
pimpinan sekolah, (4) hubungan antar pribadi.
Sumber : Teori
motivasi Dua Faktor dari Hezberg (Stoner, Freeman dan Gilbert, alih bahasa oleh
Sindoro & Sayaka, 1996 :144)
d.
Kinerja
Guru.
Indikator-indikator yang yang akan diukur adalah (1) Perencanaan pembelajaran, meliputi : pengembangan silabus, pembuatan RPP, buku teks pelajaran; (2) Pelaksanaan pembelajaran, meliputi : pengelolaan kelas, kegiatan pembelajaran (kegiatan awal, inti, akhir), pemilihan metode dan penggunaan media; (3) Evaluasi pembelajaran, meliputi : penyusunan alat evaluasi, pelaksanaan penilaian, pelaporan hasil penilaian; (4) Tindak lanjut penilaian, meliputi : analisis hasil evaluasi peserta didik, pengayaan dan remedial.
Sumber : Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
E. Pengukuran
Variabel.
Dalam
pengukuran variabel-variabel, penentuan nilai untuk setiap pertanyaan
di kuesioner menggunakan sistem skor alternatif, dengan skala Likert (Sugiyono, 2013 : 168). Responden diminta
memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang ada, misalnya: sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS).
Tabel 3.3
Sistem Penskoran dengan Skala Like
Alternatif jawaban |
Bobot Skor |
Sangat tidak setuju (STS) |
1 |
Tidak setuju (TS) |
2 |
Netral (N) |
3 |
Setuju (S) |
4 |
Sangat setuju (SS) |
5 |
F. Teknik
Pengumpulan Data.
Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data
menggunakan (1)sumber primer; sumber data langsung
memberikan data kepada pengumpul data, (2) sumber sekunder ; merupakan sumber data tidak langsung memberikan data
pada
pengumpul data, tetapi lewat orang lain atau lewat dokumen.
Sedangkan jika dilihat dari segi teknik, maka pengumpulan datanya, dilaku-kan dengan : (1) penyebaran kuesioner (angket); pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden, (2) Observasi (pengamatan langsung terhadap obyek penelitian); dalam menggunakan observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen pertimbangan kemudian format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan. Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian kepada skala bertingkat (Sugiyono, 2013 : 230-237).
G. Kisi-kisi
Instrumen
H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Uji Validitas Instrumen
Uji validitas
dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan sudah tepat mengukur
apa yang seharusnya diukur atau belum, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi validitas suatu test, maka alat test tersebut akan semakin tepat
mengenai sasaran. Nilai validitas pada dasarnya adalah nilai korelasi. Oleh
karena itu, untuk menguji validitas dilakukan dengan teknik korelasi item total
yang merupakan dasar dari korelasi pearson,
dengan rumus
:
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas
adalah tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang
memiliki reliabilitas tinggi merupakan pengukuran yang mampu memberikan hasil
ukur terpercaya (reliable).
Untuk
uji reliabilitas digunakan metode belah dua (Split Half Method) dari Spearman Brown. Metode belah dua ini
dilakukan dengan cara membagi instrument menjadi dua belahan, bisa ganjil-genap
dan bisa pula belahan pertama dan kedua dengan rumus :
II. Uji Asumsi Klasik.
1. Uji Normalitas Data.
Uji
normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal
atau tidak. Uji ini biasanya digunakan untuk mengukur data berskala ordinal,
interval, ataupun rasio. Jika analisis menggunakan metode parametrik, maka
persyaratan normalitas harus terpenuhi yaitu data berasal dari distribusi yang
normal. Jika data tidak berdistribusi normal, atau jumlah sampel sedikit dan jenis
data adalah nominal atau ordinal maka metode yang digunakan adalah statistik
non parametrik.
Dalam
penelitian ini akan digunakan uji One
Sample Kolmogorov-Smirnov
menggunakan taraf signifikansi 0,05 dengan SPSS 16. Data dinyatakan
berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05 dan grafik yang terlukis
pada diagram menunjukkan kurva normal (Sugiyono, 2013 : 271).
2.
Uji
homogenitas.
Uji homogenitas digunakan untuk
mengetahui apakah beberapa varian populasi sama atau tidak. Uji ini dilakukan
sebagai prasyarat dalam analisis independent sample t test dan
ANOVA. Asumsi yang mendasari dalam analisis varian (ANOVA) adalah bahwa varian
dari populasi adalah sama.
Sebagai kriteria pengujian, jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa varian dari dua atau lebih kelompok data adalah sama. Dalam penelitian ini uji homogenitas juga menggunakan Program SPSS 16.
3. Uji Linearitas.
Uji linearitas bertujuan untuk
mengetahui apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara
signifikan, dan biasanya digunakan sebagai
prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear.
Pada
penelitian ini, pengujian
linearitas dilakukan melalui program SPSS 16, dengan
menggunakan Test for Linearity dengan pada taraf signifikansi
0,05. Dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi
(Linearity) kurang dari 0,05.
4.
Uji
multikolinearitas.
Uji multikolinearitas digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu
adanya korelasi/ hubungan linear antar
variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam
model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas (Santosa 1999:293).
Kriteria yang digunakan untuk uji kolinearitas
adalah apabila nilai eigen (eigen-value) mendekati 0 maka terjadi
korelasi sesama variabel bebas (multicollinearity). Indikasi lain adalah
jika condition index melebihi angka 15 berarti terjadi korelasi di
antara variabel bebas, sehingga variabel bebas tersebut tidak memenuhi syarat untuk
analisis regresi. Asumsi multikolinearitas
mengharuskan tidak adanya korelasi yang sempurna atau besar diantara
variabel-variabel independen. Nilai korelasi antara variabel observed yang
tidak diperbolehkan adalah sebesar 0,9 atau lebih. Pengujian multikolinearitas atas
variabel-variabel independen dilakukan dengan mengkaji matriks korelasi. Uji multikolinearitas dalam
penelitian ini, menggunakan program SPSS 16.
5.
Uji Heteroskedastisitas.
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas
yaitu adanya ketidaksamaan
varian
dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas.
Ada beberapa metode pengujian yang bisa
digunakan diantaranya adalah dengan Uji
Glejser. Uji Glejser dilakukan
dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut
residualnya. Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan
absolut residual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah
heteroskedastisitas.
6.
Uji
Autokorelasi.
Uji autokorelasi digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyim-pangan
asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada
satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi.
Metode pengujian yang akan digunakan adalah Uji Durbin-Watson (uji
DW) dengan ketentuan sebagai berikut:
- Jika
d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hopotesis nol ditolak,
yang berarti terdapat autokorelasi.
- Jika
d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti
tidak ada autokorelasi.
- Jika
d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak
menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Nilai dU dan dL dapat diperoleh dari tabel statistik
Durbin Watson yang bergantung banyaknya observasi dan banyaknya variabel yang
menjelaskan.
J. Uji Hipotesis
a.
Regresi
Linear Sederhana ( Uji
Regresi
X1 terhadap Y, X2 terhadap Y, dan X3 terhadap Y )
Uji regresi sederhana bertujuan untuk mengetahui pengaruh masing-masing
variabel prediktor terhadap variabel kriterium Y.
DAFTAR PUSTAKA
Badeni.
2013. Kepemimpinan & Perilaku
Organisasi. Bandung : Alfabeta.
Barnawi
dan Arifin, Mohammad.2012. Kinerja Guru
Profesional. Yogjakarta : Ar-ruzz Media.
Buku
Kerja Pengawas. 2008. Kemendiknas. BPPTK
dan SDM.
Depdiknas.2004.
Pedoman Pengembangan Bahan Ajar.
Jakarta:
Dikmenum.
Davis,
Keith & John W. Newstrom. 1995. Perilaku dalam Organisasi, Jilid 1.
Jakarta : Erlangga.
Dessler, Gary. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan oleh Benyamin Molan. Jakarta:
Prenhallindo,1998.
Getut
Pramesti.2009. Sukses Mengolah Data
dengan SPSS 16.0. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Gomez
Meija, D.B. Balkin dan R.L. Cardy. 2001. Manajing
Human Resources, USA: Prentice Hall
Gibson,
Ivancevich, dan Donnely. 2003. Organisasi dan Manajemen: Prilaku
Struktur. Jakarta: Terjemahan Edisi Keempat. Erlangga.
Handoko, T.Hani.2001.Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE, Yogjakarta
Hary Susanto.
2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Sekolah
Menengah Kejuruan (Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Kompetensi Guru
dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru SMK di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan). Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol2 , Nomor 2 , Juni 2012.
Hasibuan,
Malayu S.P. 2010. Organisasi dan Motivasi
Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: PT. Bumi Aksara
. 2010.
Manajemen Sumber-Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Herrsey,
Paul dan Blanchard, K. H. (1998). Management of Organization Behavior.
New York : Englewood Cliffs.
Hoy,
Wayne K. & Miskel, Cecil G. (2001). Education Administration: Theory,
Research, and Practice (6th ed., international
edition). Singapure: Mc Graw-Hill Co.
Http//:dapodikmen_sch
19-Juni-2014. Jam 17.30 WIB
IKIP PGRI Semarang.2013.Pedoman Penyusunan Tesis Program Magister IKIP
PGRI Semarang. Program Pascasarjana, Manajemen Pendidikan, IKIP PGRI
Semarang.
Indrawijaya,
Adam. (1996). Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.
Juliani (2007) Pengaruh Motivasi Intrinsik Terhadap Kinerja
Perawat Pelaksana di Intalasi Rawat Inap RSU Dr. Pirngadi Medan. Thesis.
Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara Medan
Kartini,
Kartono.1990. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Kasmadi,
Sunariah, Nia Siti. 2013. Panduan Modern
Penelitian Kuantitatif. Bandung : Alfabeta.
Kaswan.
2013. Leadership and Teamworking.
Bandung : Alfabeta.
Kurniadin,
Didin dan Machali, Imam.2013. Manajemen
Pendidikan (Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan). Yogjakarta :
Ar-ruzz Media.
Manca,
W. 2008. Profesionalisme Tenaga
Pendidikan, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang, Elang Mas.
Maslow,
A.H.1970. Motivation and Personality. New York: Harper and Row.
Miftah Toha.2006. Kepemimpinan dalam Manajemen.
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Moeheriono.2011.
Indikator Kinerja Utama, Bisnis dan
Publik. Jakarta, PT Raja Grafindo.
Mulyasa,E.
2007. Menjadi Guru Profesional.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
. 2011. Menjadi Kepala Sekolah Profesional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
.2013. Standar kompetensi dan sertifikasi guru. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan
Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah.
Prawirosentono, Suyadi.1999. Manajemen Sumber Daya Manusia : Kebijakan
Kinerja Karyawan : Kiat,
Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia, BPFE, Yogyakarta.
Robbins, P, Stevens, Judge Timothy A. 2007. Perilaku Organisasi, Organizational
Behavior. Jakarta: Salemba Empat.
Sagala, Syaiful. 2007. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung:
Alfabeta.
Sartika,
Ikke Dewi.1999. “Mutu Total STPDN: Kontribusi Budaya Organisasi yang
Berorientasi Manajemen Mutu Total, Kepuasan Kerja dan Tahapan Mutu Terhadap
Kinerja Pengelola Dosen Tetap STPDN. “ Disertai, FPS IKIP Bandumg,
tidak diterbitkan.
Sedarmayanti.2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju
Siagian,
P. Sondang.2002. Teori Pengembangan Organisasi.
Jakarta : Bumi Aksara Sinar Grafika
Offset
. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja.
Jakarta: Rineka Jaya.
Simanjuntak,
J. Payaman.(2005). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Soeprihanto,J. 1997. Penilaian Kinerja dan
Pengembangan Karyawan. Jakarta: BPFE..
Stoner,
James A.F., Freeman, R. Edward, Gilbert, Daniel R .1996. Manajemen Jilid 11. Edisi Bahasa Indonesia Oleh Alexander Sindoro.
Jakarta : PT Prenhallindo.
Stringer,
Robert. 1984. Efektifitas Organisasi. Jakarta : LP3S.
Sugito, AT. 2010. Kepemimpinan Manajemen Berbasis Sekolah. Semarang : Unnes
Press.
Sugiyono.
2013.Metode Penelitian Manajemen.
Bandung: Alfabeta.
Sunarto dan Djumadi Purwoatmodjo. 2011.
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Kepala Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dan Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dan Kinerja
Guru SMP Di Wilayah
Sub Rayon 04 Kabupaten Demak. Jurnal Analisis Manajemen.
Vol. 5 No.1 Juli2011
Supardi.
2013. Kinerja Guru. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Usman,
H. 2006. Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
US,
Supardi. 2013. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Jakarta:
Change Publication.
Wahjosumidjo.
2011. Kepemimpinan Kepala Sekolah,
Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahyudi, Amin dan Suryono, Jarot. 2006. Analisis Pengaruh Gaya Kepemim-pinan, Motivasi dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Pegawai. Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, Volume 1 No.1 Desember
2006 :1–14.
Werther,
B. William. JR, Davis, Keith. 1993. Human Resource And Personal Management. New York, Mc Graw- Hill.
Wexley,
K.N., & Yulk, Gary.A.1997. Organizational Beahavior and Personnal
Psycology. Jome Wood IIionis: Ricard D. Irwin Inc.
Yulk,
Gary. 1996. Leadership In Organization (Terjemahan). Jakarta: PT
Bhuana Ilmu popular.