EVALUASI KEEFEKTIFAN
PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kegiatan
supervisi pembelajaran
merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang mana kegiatan tersebut bisa dilakukan
oleh kepala sekolah, pengawas
sekolah ataupun guru senior untuk memberikan pembinaan
kepada guru, terutama guru yunior.
Mengapa supervisi pembelajaran demikian penting ? Karena
proses pembelajaran yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi
dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Karakteristik supervisi pembelajaran, berbeda dengan supervisi jenis
pekerjaan lainnya. Faktor pertama yang menyebabkan perbedaan tersebut, adalah
dari segi karakteristik pekerjaan yang
disupervisi. Pekerjaan mengajar tentu tidak dapat disamakan dengan
pekerjaan manual di perusahaan, karena mengajar yang dihadapi adalah peserta
didik, melibatkan unsur intelektual dan emosional, sehingga sifat pekerjaannya
tidak rutin. Kata kunci dalam supervisi pembelajaran bukanlah pengawasan, namun
bantuan pada guru untuk meningkatkan pembelajaran.
Perbedaan supervisi pembelajaran dengan supervisi jenis
pekerjaan lain juga dapat ditemukan pada aspek tujuan. Supervisi
pembelajaran tujuan akhirnya tidak hanya pada kinerja guru, namun harus sampai pada
meningkatkan hasil pembelajaran peserta didik. Seperti yang telah dikutip oleh
Suharsimi dari pernyataan Glickman (1981) bahwa supervisi pembelajaran
adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola
proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Inilah tujuan ideal
dari supervisi pembelajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan,
maka dapat diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat secara
signifikan.
Dalam praktiknya di lapangan selama ini, pelaksanaan supervisi pembelajaran
masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek
struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor
dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi
pembelajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para
Pengawas Pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu
sekedar mengawasi. Dengan demikian, yang
kini muncul dalam benak kita adalah ”Sudah efektifkah pelaksanaan supervisi
pembelajaran selama ini ?”. Untuk itu, perlu kita adakan evaluasi tentang
keefektifan kegiatan supervisi pembelajaran di atas.
B.
Permasalahan
Paparan ini akan membahas keefektifan supervisi pembelajaran dalam birokrasi pendidikan dan pengaruh kinerja guru terhadap supervisi pembelajaran, dibandingkan dengan konsep-konsep teoritik supervisi. Dari identifikasi
terhadap kesenjangan tersebut, akan diberikan tawaran solusi bagi upaya
perbaikan pelaksanaan supervisi di masa mendatang.
C.
Tujuan Penulisan Makalah.
Sesuai
dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini diarahkan untuk mengetahui :
1. Konsep ideal supervisi
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP IDEAL SUPERVISI
PEMBELAJARAN.
Ada beberapa hal mengenai tata cara supervisi
pembelajaran yang harus dicermati oleh seorang supervisor, agar pelaksanaan supervisi
pembelajaran dapat berjalan dengan baik, sesuai harapan. Diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Peranan
Supervisor Pembelajaran.
Supervisor pembelajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan pengawas. Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya
guru” yang siap membantu kesulitan
guru dalam mengajar. Supervisor pembelajaran bukanlah seorang pengawas
yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Oliva (1984) mengemukakan peranan supervisor yang
utama, ada 4 hal, yakni:
a.
Sebagai
koordinator.
Berperan mengkoordinasikan
program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru
dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya.
b.
Sebagai
konsultan.
Supervisor harus memiliki
kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran,
dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual
maupun kelompok.
c.
Sebagai
pemimpin kelompok (group leader).
Supervisor harus memiliki
kemampuan memimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai bentuk
kegiatan kelompok.
d.
Sebagai
evaluator.
Supervisor harus dapat memberikan
bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan
kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang
dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam
pembelajaran dan sebagainya.
2. Kompetensi
Supervisor
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, maka seorang supervisor harus memiliki beberapa
kompetensi dan kemampuan pokok (Bafadal, 1992: 10-11), yakni :
a.
Berkaitan dengan substantive aspects of professional
development, meliputi:
1)
Pemahaman dan
pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran.
2)
Persepsi guru
terhadap peserta didik.
3)
Pengetahuan
guru tentang materi.
4)
Penguasaan
guru terhadap teknik mengajar.
b.
Berkaitan dengan professional development competency
areas, yakni :
1)
Bagaimana cara mengerjakan tugas ( know how to do).
2)
Bagaimana dapat
mengerjakan (can do).
3)
Bagaimana mau mengerjakan
(will do).
4)
Bagaimana mengembangkan
profesionalnya (will grow).
Selanjutnya dikatakan juga kompetensi
yang harus dimiliki supervisor meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the
nature of teaching, the nature of adult development, dan tentu saja juga the
characteristics of good and effective school.
a.
Berkaitan dengan the nature of
teaching ( hakikat pembelajaran), supervisor
harus memahami keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh yakni :
1)
Faktor-faktor
organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional
lainnya dalam lembaga pendidikan.
2)
Berkaitan
dengan pribadi guru, menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil keputusan, motivasi kerja,
tahapan perkembangan atau kematangan, dan
keterampilan guru.
3)
Berkaitan dengan support system dalam pengajaran, yaitu
kurikulum, berbagai buku teks, serta evaluasi.
b.
Dalam hal the nature of adult
development ( pembelajaran orang dewasa ) supervisor
harus mengetahui tahapan perkembangan dan kematangan kerja seorang guru,
tahapan perkembangan moral, tahapan pengembangan profesional, serta berbagai
prinsip dan teknik pembelajaran orang dewasa.
c.
Dalam hal the
characteristics of good and effective school (
karakteristik sekolah yang baik dan efektif ), supervisor
harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan
sebuah sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan
bersama para guru dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di
dalam kelas, supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang
manajerial secara umum.
3. Teknik-teknik Supervisi
Dengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaannya, dikenal berbagai teknik dan
pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.
a. Teknik Individual.
Seperti yang
telah dikutip oleh Drs Subari, bahwa Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980)
mengidentifikasi berbagai teknik supervisi individual meliputi kegiatan di dalam
dan di luar kelas. Aktivitas supervisi individual
yang dilakukan di dalam ruang kelas, antara
lain:
1)
Kunjungan dan observasi kelas.
2)
Supervisi dengan tujuan untuk mengetahui
kompetensi.
3)
Supervisi
klinis.
4)
Perbincangan
supervisor dengan guru.
Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti pengembangan profesional guru secara umum, antara
lain berupa:
1)
Mengambil mata kuliah di perguruan tinggi.
2)
Keterlibatan
dalam evaluasi.
3)
Konferensi dan
kegiatan profesi lainnya.
4)
Pemilihan buku
teks dan bahan-bahan pembelajaran lainnya.
5)
Pembaca
jurnal/bacaan profesi.
6)
Menulis artikel
mengenai profesi.
7)
Pemilihan
guru/staf profesional.
8)
Pertemuan
informal supervisor dengan guru.
9)
Berbagai bentuk
pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan profesional guru.
b.
Teknik
Kelompok.
Berbagai kegiatan supervisi yang
dilakukan secara kelompok, antara lain:
1)
Orientasi bagi guru baru.
2)
Ujicoba di kelas atau penelitian tindakan
kelas.
3)
Pelatihan
sensitivitas.
4)
Pertemuan guru
yang efektif.
5)
Melakukan
teknik Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pembelajaran/
sekolah.
6)
Mengunjungi guru
lain yang profesional.
7)
Pengembangan
instrument ujian secara bersama.
8)
Pusat kegiatan
guru.
Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu
saja peran supervisor yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group
leader. Sementara itu dalam kegiatan supervisi
individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan. Berbagai bentuk
kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung pada
inisiatif supervisor.
4. Pendekatan Supervisi
Dalam pelaksanaan supervisi, karakteristik guru yang dihadapi oleh
supervisor pasti berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari sisi usia dan
kematangan, pengalaman kerja, motivasi maupun kemampuan guru. Karena itu,
supervisor harus menerapkan pendekatan yang sesuai dengan karakteritik guru
yang dihadapinya. Apabila pendekatan yang digunakan tidak sesuai, maka kegiatan
supervisi kemungkinan tidak akan berjalan dengan efektif. Sergiovanni (1982), mengemukakan berbagai
pendekatan supervisi, antara lain :
a. Supervisi Ilmiah
Seperti yang telah dikutip oleh Lia Yuliana, John
D. McNeil (1982), menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai supervisi ilmiah, yakni sebagai berikut :
1)
Supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi oleh
berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan ini, kekurang berhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan
pengaturan serta pedoman-pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh
karena itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh
penelitian, agar dapat dilakukan perbaikan secara tepat.
2)
Supervisi
ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan metode pemecahan
masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi guru di
dalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi kebiasaan
eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati hasilnya dalam
pembelajaran.
3)
Supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology. Maksudnya
setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam
mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang
ditemukan dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru. Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik kesimpulan
mengenai problem pembelajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang dikumpulkan. Hal ini
sebagai perwujudan terhadap ideologi demokrasi, di mana seorang guru
sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas dasar opini
semata.
Pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru
harus memiliki pedoman yang baku dalam mengajar, perlu juga
dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus dibiasakan melakukan
penelitian untuk meme-cahkan problem mengajarnya secara ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandang-an terakhir tentunya harus menjadi
landasan sikap supervisor, di mana ia harus mengacu pada data yang cukup
untuk menilai dan membina guru.
b. Supervisi Artistik
Supervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi
ilmiah. Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata
sebagai science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan
kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi tersebut.
Yang dimaksud
dengan pendekatan supervisi artistik (Elliot W. Eisner 1982 – dalam Made Pidarta. 1997 ), ialah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas, perceptivity,
dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas, dan kemudian menggunakan bahasa yang
ekspresif, puitis serta ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap apa yang telah
diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen utamanya bukanlah
alat ukur atau pedoman observasi, melainkan
manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan
(suasana) kependidikan di sekolah.
Dari pengertian tersebut, mungkin dapat
dianalogikan dengan pendekatan penelitian. Supervisi
ilmiah paradigmanya identik dengan penelitian
kuantitatif sementara itu supervisi artistik lebih dekat dengan pendekatan
penelitian kualitatif.
c. Supervisi Klinis
Supervisi klinis berangkat dari cara pandang kedokteran, yaitu untuk
mengobati penyakit, harus terlebih dahulu diketahui apa penyakitnya. Inilah
yang harus dilakukan oleh supervisor terhadap guru apabila ia hendak membantu
meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.
Supervisi klinis dilakukan melalui tahapan-tahapan:
a)
Pra observasi,
yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru mengenai apa yang akan diamati dan diperbaiki
dari pembelajaran yang dilakukan.
b)
Observasi,
yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah
disepakati.
c)
Analisis,
dilakukan secara bersama-sama oleh
supervisor dengan guru terhadap hasil pengamatan.
d)
Perumusan
langkah-langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.
B.
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN
SUPERVISI PEMBELAJARAN.
Banyak sekali problematika yang dihadapi dalam
pelaksanaan supervisi pembelajaran, antara lain :
1.
Jabatan
Supervisor dan Legalitasnya.
Kenyataan yang pertama kali harus disadari sebelum berbicara mengenai
pelaksanaan supervisi yang ideal, adalah bahwa dalam peraturan mengenai kependidikan
di Indonesia ini, tidak dikenal adanya jabatan supervisor. Pasal 39 ayat (1)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi:
“Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan”. Ayat tersebut selanjutnya diberikan
penjelasan bahwa “Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan,
penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti,
pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
Berdasarkan pada landasan hukum di atas, maka konteks supervisi
pembelajaran di Indonesia tercakup dalam
konsep pembinaan dan pengawasan. Sejak 1996 pemerintah melalui Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional
Pengawas dan Angka Kreditnya, telah menetapkan (pejabat) Pengawas sebagai
pelaksana tugas pembinaan/supervisi guru dan sekolah. Teknis pelaksanaan
Keputusan Menpan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan nomor
38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas
Sekolah dan Angka Kerditnya. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Pengawas
Sekolah adala” Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan
pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan
pendidikan pra sekolah, dasar, dan menengah“.
Sebagai tenaga fungsional kependidikan, jabatan Pengawas selanjutnya dibuat
penjenjangan sebagaimana jabatan pendidik/guru. Dengan demikian jabatan pengawas telah diakui secara resmi sebagai jabatan
fungsional. Jabatan tersebut mencerminkan kompetensi dan profesionalitas dalam
pelaksanaan tugas sebagaimana jabatan fungsional lainnya.
2.
Pelaksanaan
Supervisi Pembelajaran oleh Pengawas.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003:75) menunjukkan kenyataan pelaksanaan
supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang dengan konsep ideal
supervisi. Kegiatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas, masih
jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas
lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya “membantu
guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai syarat
keberhasilan supervisi pembelajaran, belum dilakukan sepenuhnya oleh para
pengawas. Kenyataan yang terjadi di lapangan selama ini, hubungan antara
pengawas dan guru masih sebatas antara ”atasan dan bawahan”.
3.
Pelaksanaan
Supervisi Pembelajaran oleh Kepala Sekolah.
Salah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai administrator adalah juga sebagai supervisor. Tugas ini termasuk
dalam kapasitas kepala sekolah sebagai instructional leader.
Dalam
kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah, sebagai-mana pengawas,
juga masih terfokus pada pengawasan administrasi atau bahkan tidak dilakukan
sama sekali. Pada umumnya kepala sekolah hanya akan melakukan kegiatan evaluasi
& supervisi pembelajaran terhadap guru melalui kunjungan kelas, apabila dia
mendapat laporan mengenai kinerja guru tersebut yang kurang baik, atau berbeda
dari guru-guru yang lain. Bahkan seringkali dijumpai, seorang kepala sekolah
melakukan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dengan
cara mengintip dari balik pintu atau jendela, agar tidak diketahui oleh
guru tersebut. Perilaku kepala sekolah yang demikian mungkin dipengaruhi oleh
nilai-nilai budaya (Jawa) yaitu ”pekewuh”, takut akan menimbulan konflik
dalam hubungan guru dengan kepala sekolah, sekaligus dikarenakan kepala sekolah
sendiri belum memahami secara utuh apa dan bagaimana supervisi pembelajaran.
Dalam pemahaman yang salah tersebut, sangat jelas bahwa kegiatan supervisi
pembelajaran oleh kepala sekolah terhadap guru masih jauh dari angan-angan
keterlaksanaannya secara ideal.
4.
Pelaksanaan
Supervisi Pembelajaran oleh Guru Senior.
Seperti guru yang lain, tugas guru
senior adalah juga melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dengan beban tugasnya
tersebut, bagaimana mungkin dia sempat melakukan kegiatan supervisi
pembelajaran terhadap guru yunior. Apalagi kenyataannya kebanyakan guru senior
juga belum memiliki kompetensi sebagai supervisor. Jadi kalaupun ada yang
melaksanakan kegiatan supervisi pembelajaran, sifatnya masih amburadul.
5.
Kendala-kendala
Pelaksanaan Supervisi
Kendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat
dikategorikan dalam dua aspek, yaitu :
a.
Aspek struktur.
Pada aspek
struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala antara lain sebagai berikut :
1)
Secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir
tentang pendidikan yang masih dekat dengan era inspeksi.
2)
Lingkup tugas
jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan administrasi yang dilakukan
oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi yang
digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pembelajaran di
sekolah tersebut juga baik. Inilah asumsi yang keliru.
3)
Rasio jumlah
pengawas dengan guru yang harus dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di
daerah-daerah luar pulau Jawa/ daerah-daerah terpencil misalnya, seorang pengawas harus membina/ mengawasi
ratusan guru, dan dalam kegiatannya dia harus menempuh puluhan bahkan ratusan
kilo meter untuk mencapai sekolah binaannya.
4)
Persyaratan
kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan promosi terhadap
jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang besar terhadap
pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi pembelajaran
di kelas.
b.
Aspek Kultural.
Dalam aspek kultural dijumpai
kendala antara lain :
1)
Para pengambil
kebijakan tentang pendidikan belum berpikir tentang pengembangan budaya mutu
dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka mutu pendidikan yang diminta oleh customers
sebenarnya justru terletak pada kualitas
interaksi pembelajaran antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi
komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di lapangan.
2)
Nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif,
dibawa dalam interaksi fungsional dan professional antara pengawas,
kepala sekolah dan guru. Budaya ewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau
kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah guru.
3)
Budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka
dan membangun hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan
pengawas. Guru menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas
menganggap kepala sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan
tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi syarat
pelaksanaan supervisi.
C.
KINERJA GURU PASCA PELAKSANAAN SUPERVISI
PEMBELAJARAN.
Supervisi
pembelajaran merupakan upaya membantu guru-guru dalam mengembangkan kemampuannya mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensial supervisi pembelajaran
adalah membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Mengembangkan
kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata
ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru,
melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness), juga motivasi (motivation)
guru, sebab dengan meningkatnya
kemampuan dan motivasi kinerja
guru, diharapkan kualitas pembelajaran
akan meningkat.
Glickman (1985) menguraikan bahwa tujuan supervisi pembelajaran adalah
untuk membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan atau
kapasitasnya agar para siswa dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah
ditetapkan.
Supervisi
pembelajaran tidak bisa terlepas dari penilaian performansi guru dalam
mengelola proses pembelajaran.
Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi pembelajaran merupakan serangkaian
kegiatan membantu guru untuk mengembangkan
kemampuannya mengelola proses pembelajaran,
maka menilai performansi guru merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa
dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Penilaian performansi guru sebagai
suatu proses pemberian estimasi penampilan guru dalam mengelola proses pembelajaran,
merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi pembelajaran. Dengan kata lain, dalam
pelaksana-an supervisi pembelajaran, terlebih
dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek-aspek yang perlu
dikembangkan dan bagaimana cara
mengembangkannya.
Jelaslah bahwa guru harus mempunyai sikap positif terhadap pelaksanaan supervisi yang
dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah ataupun
guru senior . Sikap positif ini bisa
diwujudkan dengan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Guru melihat
dengan jelas tujuan pendidikan.
2)
Guru harus mampu
membimbing pengalaman siswa.
3)
Guru
memanfaatkan sumber-sumber pengalaman belajar.
4)
Guru lebih
kreatif dalam menggunakan metode dan alat pelajaran modern.
5)
Guru harus
berusaha memenuhi kebutuhan belajar siswa.
6)
Guru harus lebih
cermat dalam menilai kemajuan siswa.
7)
Guru mampu
mencurahkan perhatian, waktu , dan tenaganya untuk kemajuan dan
pembinaan di sekolah.
Namun kenyataan yang sering terjadi, banyak guru (oknum
guru) yang bersikap acuh tak acuh terhadap pelaksanaan supervisi pembelajaran, karena mungkin belum memahami arti supervisi
pembelajaran, tidak menyadari kegiatan tersebut dalam upaya membantu dirinya,
serta belum menganggap bahwa kegiatan supervisi pembelajaran sebenarnya sangat
ia butuhkan. Selain karena memang pelaksanaan kegiatan supervisi pembelajaran itu sendiri belum efektif. Jadi dapat dikatakan
bahwa permasalahan belum efektif dan berhasilnya kegiatan supervisi
pembelajaran sangatlah kompleks. Perlu dicari solusi alternatif untuk
memecahkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan.
Demikianlah uraian singkat mengenai evaluasi
keefektifan pelaksanaan supervisi pembelajaran ini dan bagaimana kondisi kinerja
guru, antara konsep teoritik dan kenyataannya.
Pelaksanaan supervisi pembelajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari
konsep ideal. Penyebabnya demikian kompleks, mulai dari pemahaman konteks
supervisi itu sendiri yang belum dimiliki oleh para pelaku, baik pengawas,
kepala sekolah, maupun guru. Untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, diperlukan
sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-pihak yang mempunyai komitmen
terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini secara bersama-sama harus
dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya
terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.
B. Saran.
Berangkat dari
kenyataan dan problematika kegiatan pelaksanaan supervisi pembelajaran di Indonesia, maka untuk menuju
pada keterlaksanaan supervisi pembelajaran yang ideal diperlukan
langkah-langkah antara lain :
1.
Menegaskan, dan jika perlu memisahkan jabatan supervisor dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di
Indonesia. Dalam hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan
pengawas agar terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau
mengangkat supervisor secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas
melaksanakan fungsi pengawasan.
2.
Memperbaiki
pola in service rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan
promosi jabatan supervisor/pengawas.
3.
Dalam konteks
otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat sesuai dengan kebutuhan
masing-masing daerah.
4.
Membangun
kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi pengelola-pengelola pendidikan pada
semua tingkatan.
5.
Mengikis habis pola hubungan paternalistik antara pengawas/kepala sekolah dengan guru dan mengembangkan hubungan profesional yang
akrab dan terbuka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Bafadal, 1992. Supervisi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ekosusilo,
Madyo. 1998. Supervisi Pengajaran dalam Latar
Budaya Jawa. Sukoharjo: Univet Bantara Press.
Glickman. 1990. Supervision Human and Perspective. New
York maemilan.
Keputusan
MENPAN Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka
Kreditnya.
Keputusan
Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan Nomor 38 tahun 1996
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka
Kerditnya.
Made Pidarta. 1997. Pemikiran
tentang Supervisi Pendidikan. Surabaya : Sarana Press.
Oliva.
Peter F. 1984. Supervision
for Today’s School, (2nd Ed) New York: LongmanInc. P.
Sergiovanni, T.J. dan Starrat, R.J. 1993. Supervision A
Redefinition. 5th Ed. New York: McGraw-Hill Book Co.
Suharsimi Arikunto. 2006. Dasar-Dasar Supervisi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
|
Minggu, 24 Agustus 2014
Evaluasi Keefektifan Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar