Kebijakan dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan
di Tingkat Satuan Pendidikan
Melalui Manajemen Mutu Terpadu
A. Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia.
Seperti telah disampaikan di atas, bahwa pendidikan di
Indonesia harus dilakukan pembaharuan secara radikal, yang didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang mana pendelegasian otoritas pendidikan kepada daerah secara
otomatis telah mendorong
otonomisasi di tingkat sekolah, dengan melibatkan masyarakat
dalam pengembangan program-programnya. Kewenangan
pemerintah saat ini adalah sebagai fasilitator terhadap
berbagai usulan pengembangan yang digagas oleh sekolah.
Paradigma baru pengelolaan sekolah ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam
mengatasi rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia, yang pada hakekatnya berakibat
pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi persaingan regional maupun global.
Ada dua faktor penyebab upaya perbaikan mutu
pendidikan di Indonesia kurang berhasil ( Umaedi: 1999), yakni :
1. Strategi
pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang
demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa jika semua input pendidikan telah
dipenuhi, seperti penye-diaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya,
penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lain-nya,
maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan
output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi
input-output yang diperkenal-kan oleh teori education-production-function
(Hanushek,1979-1981) tidak berfungsi maksimal di lembaga pendidikan ( sekolah),
melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
2. Pengelolaan
pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran
birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di
tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di
tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa
kompleksitasnya ca-kupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat
terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
B. Peningkatan Mutu Pendidikan di Tingkat Satuan
Pendidikan (Sekolah).
Perubahan pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah tentu saja akan membutuhkan waktu,
khususnya dalam restrukturisasi sistem yang
mengatur batas-batas tugas dan kewenangan antar instansi pengelola pendidikan. Selain itu juga perlu adaptasi
sistem baru dalam praktik pengelolaan sekolah secara operasional. Dan tak kalah pentingnya adalah mengatasi perubahan kultur yang sudah
bertahun-tahun terbiasa terjadi dalam masyarakat kita yang selama ini hanya tinggal
menikmati. Pola
kekuasaan birokrasi yang dulu terjadi sekarang
harus berubah, yang mana kekuasaan
tersebut bisa dibagi-bagi (sharing of power ) antara pemerintah daerah dan
sekolah yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user.
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah bahwa
pendidikan harus mampu melayani, beradaptasi dan bahkan juga ikut menentukan
dunia secara makro yang selalu maju dengan cepat. Dan yang perlu kita tahu
bahwa sekolah termasuk lembaga yang paling sulit untuk berubah dibandingkan
dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan bisnis dan perdagangan.
Dalam lingkungan bisnis global, customer telah
mengalami perubahan pesat, baik dalam tuntutan mereka maupun cara mereka
memenuhi tuntutannya. Oleh karena itu untuk dapat survive dan berkembang dalam
lingkungan yang telah berubah tersebut, manajemen harus merubah paradigma
mereka agar sikap dan tindakan mereka dalam menjalankan bisnis menjadi efektif.
Paradigma baru tersebut adalah penerapan manajemen mutu terpadu (Total Quality
Manajement).
Manajemen peningatan mutu terpadu ini dilaksanakan
sebagai suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada lembaga yang
dikelolanya. Metode ini mengaplikasikan sekumpulan teknik, yang didasarkan pada
ketersediaan data, dan pemberdayaan semua komponen lembaga pendidikan yang
secara berkesinam-bungan diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan
organisasi guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat pengguna hasil
pendidikan.
Manajemen peningkatan mutu pendidikan, meliputi
berbagai upaya yang berhubungan dengan :
1. Proses
pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah.
2. Proses
diagnosis terhadap pembelajaran dan upaya tindak lanjut hasil diagnosis.
3. Proses
pelibatan partisipasi semua stake holder untuk kepentingan sekolah.
4. Proses
penyusunan program peningkatan mutu baik jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang.
Program
peningkatan mutu pendidikan didasarkan kepada empat teknik, yaitu:
1.
School Review.
Merupakan suatu proses ketika seluruh komponen sekolah
bekerja sama khususnya dengan pihak orang tua dan tenaga professional untuk
menganalisis, mengevaluasi, dan menilai terhadap efektivitas sekolah serta mutu
lulusan
2.
Benchmarking.
Merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan
target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking
dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga melalui tiga
pertanyaan mendasar yang akan diwujudkan melalui benchmarking, yakni:
a. Seberapa
baik kondisi kita saat ini?
b. Harus
menjadi seberapa baik kita ini?
c. Bagaimana
cara untuk mencapai yang baik tersebut?
Untuk
mewujudkan itu semua dapat ditempuh dengan langkah-langkah yang dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut :
a. Tentukan
fokus.
b. Tentukan
aspek/variable/indikator.
c.
Tentukan standar.
d. Bandingkan
standar tersebut dengan kemampuan yag dimiliki.
e. Tentukan
gap/kesenjangan yang terjadi.
f.
Rencanakan target.
g. Rumuskan
cara-cara dan program-program untuk mencapai target tersebut.
3.
Quality Assurance.
Merupakan suatu teknik untuk menentukan bahwa proses
pendi-dikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan
dapat dideteksi ada atau tidaknya penyimpangan yang terjadi pada proses, ada
tidaknya pemborosan yang tidak perlu, dan ada tidaknya layanan yang tidak prima.
4.
Quality Control.
Memerlukan indikator kualitas yang jelas dan pasti,
sehingga da-pat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi sekecil apapun
C. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Melalui
Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ).
Ada beberapa kebijakan sebagai upaya peningkatan mutu
pendidikan di sekolah, yang direkomendasikan oleh pemerintah, diantaranya
adalah Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ). Peningkatan mutu tidak dapat dilakukan
secara spekulatif. Semua kegiatan yang dilakukan dalam upaya peningkatan mutu
harus didasarkan pada tersedianya data yang akurat. Demikian pula tujuan,
sasaran, dan target yang akan diwujudkan harus dinyatakan secara jelas,
sehingga dapat dievaluasi ketercapaiannya. Upaya peningkatan mutu merupa-kan
suatu kegiatan yang kompleks, karena itu harus dicari dan diru-muskan
indikator-indikator yang berpengaruhi terhadap mutu tersebut.
Dalam mewujudkan mutu sekolah, semua komponen pendi-dikan,
yaitu kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua dan
masyarakat harus dilibatkan untuk mengambil peran masing-masing. Konsep ini
dapat dilakukan melalui pelaksanaan manajemen mutu terpadu (MMT), yang sering
disebut Total Quality Management (TQM).
Sekolah selama ini menganggap dirinya sebagai unit
produksi, di mana siswa dianggap sebagai bahan mentah dan lulusan sekolah
sebagai hasil produksi. Mutu diartikan sebagai lulusan yang mampu mencapai
hasil ujian dengan baik. Dalam konsep MMT sekolah dipandang sebagai “unit
layanan jasa,” yaitu layanan pembelajaran yang berkualitas.
Sebagai unit layanan jasa, sekolah melayani pelanggan
sekolah, yang terdiri dari:
1.
Pelanggan internal, yaitu guru, pustakawan, laboran,
teknisi, dan tenaga administrasi.
2.
Pelanggan eksternal, ada 3 jenis yakni :
a. Pelanggan
primer ialah para siswa.
b. Pelanggan
sekunder, ialah orang tua, pemerintah, masyarakat, dan stake holders lainnya.
c.
Pelanggan tertier ialah pemakai lulusan sekolah, baik
perguruan tinggi maupun dunia usaha.
Manajemen
Mutu Terpadu ( MMT ) bisa dikatakan sebagai suatu sistem manajemen yang
berfokus kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan mutu secara
berkelanjutan berupa kepuasan costumers (pelanggan), dengan biaya yang
dikeluarkan secara berkelanjutan terus menurun. David, Fred R. (2004: 15)
mengemukakan bahwa MMT merupakan suatu cara untuk mengatur organisasi secara
menyeluruh dan terintegrasi, dalam rangka untuk menemukan kebutuhan pelanggan
secara konsisten, serta meningkatkan kemampuan secara terus menerus dalam
berbagai aspek dari setiap kegiatan organisasi.
Adapun
komponen-komponen yang terkait dengan mutu pendidikan adalah :
1.
Siswa; meliputi kesiapan dan motivasi belajarnya.
2.
Guru; meliputi kemampuan professional, moral kerja dan
kerja samanya.
3.
Kurikulum meliputi relevansi antara konten dan
operasionali-sasi proses pembelajarannya.
4.
Dana, sarana dan prasarana; meliputi kecukupan dan
keefek-tifan dalam mendukung proses pembelajarannya.
5.
Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan dan perguruan tinggi),
meliputi partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan di
sekolah. Komponen-komponen mutu tersebut itulah yang harus menjadi fokus
perhatian para kepala sekolah.
MMT menganut
tolok ukur keberhasilan sekolah yang ketat, yaitu berupa tingkat kepuasan
pelanggan internal dan eksternal. Sekolah disebut berhasil jika sekolah
tersebut mampu memberi-kan layanan sama atau melebihi harapan-harapan
pelanggan.
Beberapa
tolok ukur keberhasilan sekolah di dalam melayani pelanggannya :
1.
Siswa merasa puas dengan layanan sekolah, antara lain
karena pelajaran yang diterima siswa-siswanya sesuai dengan harapan-harapannya,
puas dengan perlakuan guru-guru, pimpinan sekolah, dan semua tenaga
kependidikannya, puas dengan fasilitas yang disediakan pihak sekolah, puas
dengan manajemen dan sistem administrasi yang dilaksanakan di sekolahnya, puas
dengan iklim dan budaya sekolah yang dikembangkannya. Pendeknya semua siswa
merasa puas dan menikmati suasana sekolahnya.
2.
Orang tua siswa merasa puas dengan layanan terhadap
putra-putri mereka dan juga terhadap mereka sendiri. Mereka merasa puas karena
bila ada masalah dapat segera diselesaikan dengan memuaskan, mereka puas karena
menerima laporan perkembangan putra-putri mereka secara periodik, mereka puas karena
senantiasa dilibatkan dalam merumuskan program-program penting sekolah, dan
sebagainya. Pihak pemakai lulusan (perguruan tinggi, industri, dan masyarakat)
merasa puas karena menerima lulusan sekolah dengan kualitas yang sesuai dengan
harapan mereka.
3.
Guru dan karyawan sekolah merasa puas dengan layanan
sekolah, baik yang menyangkut kesejahteraan, hubungan kerja, pembagian kerja,
iklim dan budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah.
D. Implementasi Manajemen Mutu Terpadu ( MMT ) di Sekolah.
Dalam mengimplementasikan
MMT di sekolah, sebaiknya kepala sekolah memperhatikan beberapa hal di bawah
ini:
1.
Sifat layanan berorientasi kepada kepuasan pelanggan.
Untuk mewujudkan kepuasan pelanggan kepala sekolah
hendaknya berpegang kepada sifat-sifat layanan sebagai berikut:
a. Menjaga
kepercayaan pelanggan (reliability).
Hal ini berarti bahwa layanan harus sesuai dengan yang
dijanjikan ketika promosi sekolah, baik yang disampaikan secara lisan dalam
pertemuan-pertemuan, maupun pada brosur-brosur yang disebarkan kepada
pelanggan. Layanan seperti ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan,
secara terus menerus bukan pada saat-saat tertentu.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan kepercayaan
pelanggan ialah: kejujuran, keamanan, ketepatan waktu, dan ketersediaan pihak
sekolah dalam menerima setiap keluhan pelanggan.
b. Menjaga
keterjaminan kualitas layanan (assurance).
Hal ini berarti sekolah mengupayakan jaminan kualitas
layanan yang diberikan kepada semua pelanggan. Hal ini pun harus dilaksanakan
secara berkesinambungan, secara terus menerus, bukan hanya sesaat. Beberapa
aspek yang berkaitan dengan keterjaminan layanan antara lain: kompetensi,
objektivitas, keterampilan, disiplin, dan dedikasi guru serta tenaga
kependidikan.
c.
Menjaga penampilan sekolah agar selalu menarik (tangible).
Hal ini berarti situasi dan kondisi sekolah harus
terjaga dengan baik, menyangkut kebersihan, kerapihan, kenyamanan, keteraturan,
dan keindahan sekolah. Ini pun harus diusahakan secara terus menerus sehingga
kesan yang dirasakan oleh semua pelanggan permanen di dalam pikiran dan hati
semua pelanggan.
d. Memberikan
perhatian yang hangat kepada semua pelanggan (empathy).
Hal ini berarti sekolah harus secara terus menerus
memberikan perhatian yang simpatik kepada semua pelanggan. Beberapa aspek yang
berhubungan dengan perhatian antara lain: ramah, aspiratif, komunikatif,
simpati, empati, dan senyum hangat.
e. Tanggap
terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan pelanggan (responsiveness).
Hal ini berarti bahwa sekolah harus cepat tanggap
terhadap kebutuhan pelanggan. Jangan menyepelekan hal-hal yang dikeluhkan
pelanggan sekecil apapun. Beberapa aspek yang berhubungan dengan aspek ini
ialah kemampuan mendengar keluhan, saran dan tanggapan pelanggan, kemauan
melayani, komunikatif dan responsif.
Sifat layanan
ini harus dilakukan oleh semua staf sekolah dengan selalu meningkatkan mutu
layanannya setiap saat. Untuk keperluan tersebut semua staf harus senantiasa
meningkatkan kompetensinya masing-masing secara terprogram.
2.
Langkah-langkah yang ditempuh sekolah, komitmen
terhadap mutu.
Untuk mewujudkan layanan prima terhadap para pelanggan
sekolah, kepala sekolah hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Mengubah
paradigma berpikir ( mind set).
Kepala sekolah, guru, dan semua tenaga kependidikan,
hendaknya mengubah paradigma berpikir dari pola pikir konvensional dimana
sekolah dianggap sebagai unit produksi dengan pendekatan in-put, proses dan
out-put, menuju unit langganan jasa yang berorientasi kepada kepuasan semua
pelanggan. Salah satu perubahan prilaku yang terpenting ada-lah dalam
memberlakukan siswa, orang tua, kalangan pergu-ruan tinggi, industri, dan
masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Sekolah
yang melayani mereka, bukan sebaliknya mereka harus melayani sekolah.
b. Komitmen
kepada mutu (quality oriented).
Dalam hal ini pihak sekolah harus senantiasa
mengupayakan peningkatan mutu, yaitu kepuasan pelanggan, baik pelanggan
internal maupun pelanggan eksternal. Upaya meningkatkan layanan yang prima
tersebut harus berlangsung secara berkelanjutan, tidak hanya layanan sesaat.
c. Menekankan
kepada aspek proses secara sistemik (process oriented).
Hal ini menunjukkan bahwa mutu dibangun oleh proses,
jika proses pembelajaran berkualitas maka mutu akan mengarah kepada peningkatan
mutu. Setiap kejadian senantiasa diorientasikan kepada prosesnya. Jika seorang
siswa melanggar aturan, maka harus pula dianalisis prosesnya secara sistemik,
mengapa dia melanggar aturan, bukan hanya menyalahkan mereka. Jadi pemecahan
masalah pun harus fokus pada perbaikan sistem yang berjalan.
d. Berpikir
jangka panjang (long term oriented).
Hal ini berarti sekolah di dalam menyusun program/ kegiatan
tidak hanya memikirkan kepentingan saat ini, melainkan juga bagaimana
kepentingan jangka panjangnya. Sekolah harus memiliki visi yang jelas,
bagaimana keadaan sekolah di masa yang akan datang. Sebagai contoh, jika siswa
melanggar aturan, pemecahannya bukan hanya bagai mana siswa tersebut menjadi
disiplin, tetapi bagaimana agar ke depannya tidak ada lagi siswa yang melanggar
aturan.
e. Senantiasa
mempunyai misi untuk pengembangan sumber daya manusia (capacity building).
Hal ini berarti bahwa setiap program yang digulirkan
oleh sekolah harus disertai dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang melaksanakannya. SDM yang terlatih akan mendukung pencapaian
sasaran organisasi dengan lebih mudah dan berkualitas. Hal ini akan mendukung
pihak sekolah, mewujudkan layanan prima kepada semua pelanggannya.
f. Mensosialisasikan
MMT yang akan dilaksanakan di sekolahnya kepada semua pelanggan (socialisation).
Hal ini karena MMT tidak hanya dipahami oleh kepala
sekolah, tetapi harus juga oleh seluruh guru dan staf. Oleh karena itu
diperlukan tahap pengkajian MMT secara bersama-sama sampai ada persamaan
persepsi diantara seluruh guru dan staf.Kemudian kepada stake holders lainnya,
dengan maksud yang sama yaitu punya kesamaan persepsi, dan berujung pada
dukungan yang sebaik-baiknya.
g. Kepala
sekolah harus menyadari pentingnya dukungan arus bawah (bottom up).
Karena itu kepala sekolah harus mampu mengubah
perintah dari atas menjadi inisiatif dari bawah. Untuk mewujudkan kondisi
tersebut kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan yang delegatif,
transfaran, kolaboratif, dan visioner.
h. Kepala
sekolah bila perlu sebaiknya membentuk tim MMT (team building).
Tugas mereka mulai dari menyusun rencana strategis,
menyiapkan saran-saran dan menganalisis setiap masalah, kegiatan dan hasilnya,
untuk dijadikan masukkan kepada kepala sekolah. Selanjutnya kepala sekolah
melaksanakan MMT secara bertahap dan berkesinambungan.
3.
Sekolah menerapkan langkah-langkah strategik membangun
mutu.
Pendidikan yang bermutu tidak hanya dapat dilihat dari
kualitas lulusannya, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu
memenuhi kebutuhan pelanggannya sesuai dengan standar mutu yang berlaku.
Ada beberapa tantangan yang perlu dijadikan bahan
kajian dan untuk dilaksanakan secara strategik dalam rangka menerapkan konsep
MMT di sekolah, yaitu sebagai berikut:
a. Dimensi
kualitas yang akan diwujudkan.
Ada lima dimensi pokok yang menentukan kualitas
penyelenggaraan pendidikan, yaitu:
1) Keandalan (reliability),
yakni kemampuan memberi layanan yang dijanjikan secara tepat waktu, akurat, dan
memuaskan. Beberapa contoh: bahan pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan,
jadwal pembelajaran yang fleksibel, ujian yang akurat, pembelajaran yang
kreatif, bimbingan yang kontinyu, penyediaan dana yang memadai, dan kelanjutan
studi yang lancar.
2) Tanggap (responsiveness),
yaitu kemauan para guru dan semua tenaga kependidikan yang senantisa siap untuk
membantu para siswa dan memberi layanan secara akurat. Bebarapa contoh: Kepala
sekolah dan guru mudah dihubungi untuk kepentingan konsultasi, proses belajar
dilaksanakan secara interaktif, murid mampu mengem-bangkan semua kapasitas yang
dimilikinya, secara kreatif, dan kapabel. Fasilitas layanan yang ada mudah
diakses oleh setiap orang, administrasi, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi didisain secara sederhana, tidak rumit, tidak birokratik dan tidak
berbelit-belit.
3) Jaminan (assurance),
yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap pelanggan,
da-pat dipercaya, dan bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan. Beberapa
contoh antara lain: semua tenaga ke-pendidikan harus benar-benar kompeten di
bidangnya, re-putasi positif di mata masyarakat, professional dan ramah.
4) Perhatian (empathy),
yaitu mencakup kemudahan dalam berkomunikasi, perhatian pribadi, dan memahami
kebutuhan para pelanggan. Beberapa contoh: mengenal nama siswa dengan baik,
mudah dihubungi, bahkan dengan menggunakan e-mail.
5) Bukti
langsung (tangibles), yaitu meliputi ketersediaan sarana dan prasarana
yang diperlukan oleh sekolah dalam mewujudkan mutu. Beberapa contoh seperti gedung,
fasilitas laboratorium, perpustakaan, komputer, ruang kelas, ruang fasilitator,
ruang seminar, media pembelajaran, kantin, tempat parkir, jurnal ilmiah, sarana
ibadah, fasilitas olah raga, dsb.(Zethmal, dkk., 1990).
Kelima
dimensi tersebut, didasarkan pada derajat kepentingan relatifnya para
pelanggan. Dimensi-dimensi tersebut menjadi acuan bagi pelanggan untuk menilai
kualitas jasa (service quality) dan jasa yang dipersiapkan merupakan
ukuran kualitas jasa.
b. Sesuatu yang
fokus pada pelanggan.
Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa kepuasan
pelanggan merupakan faktor penting dalam MMT. Oleh karena itu sekolah harus
memahami benar siapa pelanggan sekolahnya, dan apa kebutuhan mereka yang
sesungguhnya. Ivancevich, dkk (1996) menyatakan bahwa, langkah pertama
dalam menerapkan MMT adalah memandang peserta didik sebagai pelanggan yang
harus dilayani. Pandangan ini dikenal secara luas, walaupun tidak diterima
secara universal. Ada pandangan tradisional yang menganggap bahwa siswa bukan
pelanggan tetapi objek pendidikan. Padahal menurut pan-dangan modern, siswa
adalah pemakai akhir (end user) yang harus menjadi fokus utama para
penyelenggara pendidikan.
c. Kepemimpinan
transformasional.
Kesadaran akan kualitas di sekolah sangat bergantung
pada banyak faktor yang saling berhubungan, terutama sikap kepala sekolah
terhadap pemaknaan mutu. Mutu pendidikan adalah proses yang berkepanjangan yang
dibangun dengan penuh kesungguhan, Untuk mewujudkan kepemimpinan
transformasional, kepala sekolah perlu memiliki karakteristik kepribadian yang
mencakup: motivasi kerja, integritas, kejujuran, kepercayaan diri, inisiatif,
kreativitas, originalitas, fleksibelitas, kemampuan kognitif, dan kewibawaan.
Kepala sekolah perlu memiliki visi yang jelas seperti apa sekolah yang dipimpinnya
akan dibangun, sehingga akan menumbuhkan komitmen untuk membangun mutu bagi
semua pegawainya, memperhatikan kepuasan pelanggan, menumbuhkan kerja tim yang
solid (sense of teamwork) dalam bekerja, dan menumbuhkan standar mutu
yang prima (standard of excellence). Visi yang dirumuskan,
diartikulasikan, dan dikomunikasikan kepada seluruh stake holders sehingga
mendapat dukungan dari semua pihak. Ditinjau dari budaya kerja, kepemimpinan
seperti disampaikan oleh Hort dalam Stephen R. Covey (2005:319),
adalah menciptakan sebuah lingkungan sehingga orang ingin menjadi bagian dari
organisasi dan bukan sekedar bekerja untuk organisasi.
d. Perbaikan
berkesinambungan (Continuous quality improvement).
Untuk mewujudkan prinsip perbaikan berkesinambungan
berkaitan dengan peningkatan proses berkelanjutan (Conti-nuous process
improvement). Komitmen ini diawali dengan pernyataan dedikasi pada visi dan
misi bersama, lalu pember-dayaan semua fasilitator untuk mewujudkan visi dan
misi.
Selain itu juga ditentukan oleh dua unsur penting,
yaitu :
1) Kajian
terhadap proses, alat, dan keterampilan yang tepat.
2) Menerapkan
keterampilan-keterampilan baru dalam berbagai kegiatan sekolah.
Demings W.E.(1986) mengemukakan bahwa proses
perbaikan berkesinambungan dapat dilakukan berdasarkan siklus PDAC (Plan,
Do, Check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang tak pernah
berakhir dan berlaku pada semua kegiatan pendidikan, misalnya penerimaan siswa
baru, pembiayaan, evaluasi akhir, dan penjadwalan pembelajaran.
e. Manajemen
sumber daya manusia.
Para pakar manajemen beranggapan bahwa sumber daya
manusia merupakan modal yang sangat vital dan sekaligus menjadi pelanggan
internal yang akan menentukan kualitas akhir suatu produk dari sekolah. Oleh
karena itu sukses tidaknya implementasi MMT di sekolah sangat ditentukan oleh
kesiapan, kesediaan, dan kompetensi dari SDM sekolah dalam merealisasikan
program-programnya. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran
paradigma dalam praktek manajemen sumber daya manusia. Kebijakan manajemen SDM
tradisional yang menganut 2C, yaitu Command ( perintah) dan Control (pengendalian)
perlu diganti dengan kebijakan baru yang berdasarkan budaya 3C, yaitu Commitment
(itikad yang kuat), Cooperation (kerja sama), dan Communication
(komunikasi). Jadi MMT diwujudkan lebih ba-nyak dengan kemauan kuat
untuk mewujudkan layanan yang baik, kerja sama yang kondusif dan komunikasi
yang intensif.
f. Manajemen
berbasis data.
Di dalam implementasi MMT segala keputusan seharusnya
diambil berdasarkan data yang akurat yang dihimpun dari berbagai sumber data.
Keputusan hendaknya dihindarkan dari intuisi, praduga, dan data yang tidak
akurat. Oleh karena itu sekolah harus memiliki sistem pengumpulan data yang
tepat, baik secara manual maupun dengan teknologi canggih (IT).
DAFTAR
PUSTAKA
Wardiman
Djojonegoro. Tanggal 21 Desember 1996. Citra
Guru Masa depan. Seminar Nasional Wawasan Profesi Guru Tahun 2000 ICMI
Orwil Jawa Timur di Surabaya.
PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
UU RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Sinar Grafika
UU RI No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Akdon, 2004,
Pengembangan Sekolah di Era Desentralisasi Otonomi Daerah, Mutiara Ilmu,
Bandung.
Fattah,
2003, Konsep Managemen Berbasis Sekolah dan Dewan sekolah, Pustaka Bani
Quraisy, Bandung.
Mulyadi,
2000, Total Quality Management, Aditya Medina, Yogyakarta.
Umaedi, 1999,
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Dirjen Dikdasmen,
Depdiknas, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar