CITRA GURU DALAM MASYARAKAT MODERN
Dalam
pandangan masyarakat modern, guru belum merupakan profesi yang profesional jika
hanya mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai
tinggi, naik kelas, dan lulus ujian. Masyarakat modern menganggap kompetensi
guru belum lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi.
Bagi
masyarakat modern, eksistensi guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif
merupakan salah satu aspek penting untuk membangun kehidupan bangsa. Banyak
ahli berpendapat bahwa keberhasilan negara Asia Timur (Cina, Korsel dan Jepang)
muncul sebagai negara industri baru karena didukung oleh penduduk/ SDM terdidik
dalam jumlah yang memadai sebagai hasil sentuhan manusiawi guru.
Salah satu
bangsa modern yang menghargai profesi guru adalah bangsa Jepang. Bangsa Jepang
menyadari bahwa guru yang bermutu merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Menurut
mereka, “Jasa guru lebih tinggi dari gunung yang paling tinggi, dan lebih dalam
dari laut paling dalam”. Hal ini merupakan ungkapan penghargaan bangsa Jepang
terhadap profesi guru.
Guru pada
sejumlah negara maju sangat dihargai karena guru secara spesifik :
1. Memiliki kecakapan dan kemampuan untuk memimpin dan
mengelola pendidikan.
2. Memiliki ketajaman pemahaman dan kecakapan intektual,
cerdas emosional dan sosial untuk membangun pendidikan yang bermutu.
3. Memiliki perencanaan yang matang, bijaksana,
kontekstual dan efektil untuk membangun humanware (SDM) yang unggul, bermartabat
dan memiliki daya saing.
Keunggulan mereka adalah terus maju untuk mencapai
yang terbaik dan memperbaiki yang terpuruk. Mereka secara berkelanjutan
(sustainable) terus menigkatkan mutu diri dari guru biasa ke guru yang baik dan
terus berupaya meningkat ke guru yang lebih baik dan akhirnya menjadi guru yang
terbaik, yang mampu memberikan inspirasi, ahli dalam materi, memiliki moral
yang tinggi dan menjadi teladan yang baik bagi siswa.
Di negara kita, guru yang memiliki keahlian spesialisasi
harus diakui masih langka. Walaupun sudah sejak puluhan tahun disiapkan, namun
hasilnya masih belum nampak secara nyata. Ini disebabkan karena masih cukup
banyak guru yang belum memiliki konsep diri yang baik, tidak tepat menyandang
predikat sebagai guru, dan mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan
keahliannya. Semuanya terjadi karena kemandirian guru belum nampak secara
nyata, yaitu sebagian guru belum mampu melihat konsep dirinya (self consept),
ide dirinya (self idea), dan realita dirinya (self reality). Tipe guru seperti
ini mustahil dapat menciptakan suasana kegiatan pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Guru adalah bagian dari kesadaran sejarah pendidikan
di dunia. Citra guru berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan dan
perubahan konsep dan persepsi manusia terhadap pendidikan dan kehidupan itu
sendiri. Dalam hal ini profesi guru pada mulanya dikonsep sebagai kemampuan
memberi dan mengembangkan pengetahuan pesena didik. Namun, beberapa dasa warsa
terakhir konsep, persepsi, dan penilaian terhadap profesi guru mulai bergeser.
Hal itu selain karena perubahan pandangan masyarakat
terhadap integritas seseorang yang berkaitan dengan produktivitas ekonomisnya,
juga karena perkembangan yang cukup radikal di bidang pengetahuan dan
teknologi, terutama bidang informasi dan komunikasi, yang kemudian mendorong
pengembangan media belajar dan paradigma teknologi pendidikan. Dalam
perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru mulai mengalami dilema
eksistensial. Artinya, penguasaan ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi hegemoni
guru, tetapi menyebar seluas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
seperti dunia penerbitan, buku, majalah, koran, serta media elektronik lainnya.
Untuk itu, posisi krusial guru perlu dijernihkan tatkala kita hendak merumuskan
kembali pendidikan yang lebih memajukan masa depan generasi berikutnya.
Dengan demikian, para guru dituntut trampil lebih
profesional, lebih tinggi ilmu pengetahuannya dan lebih cekatan dalam
penguasaan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya, guru mau tidak mau dan
dituntut harus terus meningkatkan kecakapan dan pengetahuannya selangkah ke
depan lebih dari pengetahuan masyarakat dan anak didiknya.
Dalam kehidupan bermasyarakat pun guru diharapkan
lebih bermoral dan berakhlak daripada masyarakat kebanyakan, tetapi di situlah
muncul problem tatkala para guru tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki
segala akses dan jaringan informasi sepeti TV, buku-buku, majalah, dan koran.
Guru-guru memiliki gaji dan tunjangan yang jauh dari cukup untuk meningkatkan
profesinya sekaligus memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan
berbagai dinamika kehidupan modern. Sehingga, rasanya sangat sulit di era
modern ini guru dapat tampil lebih profesional, memiliki tanggung jawab moral profesi
sebagai konsekuensi etisnya.
Di dalam bahasa Sansekerta, guru
berarti yang dihormati. Rasa hormat ini sampai kini masih hidup di tengah
masyarakat tradisional/ pedesaan. Mereka masih menaruh rasa hormat dan status
sosial yang tinggi terhadap profesi guru. Di kepulauan Sangihe, misalnya,
masyarakat menyebut guru pria dengan panggilan tuan, lengkapnya tuan guru,
suatu panggilan yang penuh rasa kagum dan hormat terhadap profesi guru.
Masyarakat pedesaan umumnya
menganggap profesi guru sebagai profesi orang suci (saint) yang mampu memberi
pencerahan dan dapat mengembangkan potensi yang tersimpan di dalam diri siswa.
Selain itu sebagian besar masyarakat tradisional memiliki mitos yang kuat bahwa
guru adalah profesi yang tidak pernah mengeluh dengan gaji yang minim, profesi
yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan profesi yang bangga dengan gelar
pahlawan tanpa tanda jasa.
Dalam pandangan
masyarakat tradisional, guru dianggap profesional jika anak sudah dapat
membaca, menulis dan berhitung, atau anak mendapat nilai tinggi, naik kelas dan
lulus ujian.
Daftar Pustaka :
Wardiman Djojonegoro. Tanggal 21 Desember 1996. Citra Guru Masa depan. Seminar Nasional
Wawasan Profesi Guru Tahun 2000 ICMI Orwil Jawa Timur di Surabaya.
Oemar Hamalik. 2008.
Pendidikan guru, Berdasarkan pendekatan kompetensi, Cet V. Jakarata:
PT. Bumi Aksara
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Rostiyah. 1989. Masalah masalah ilmu Keguruan,
Jakarta: Bina Aksara
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Sinar Grafika
UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar