Minggu, 24 Agustus 2014

Evaluasi Keefektifan Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran


 
EVALUASI KEEFEKTIFAN
PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kegiatan supervisi pembelajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang mana kegiatan tersebut bisa dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas sekolah ataupun guru senior untuk memberikan pembinaan kepada guru, terutama guru yunior. Mengapa supervisi pembelajaran demikian penting ? Karena proses pembelajaran yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Karakteristik supervisi pembelajaran, berbeda dengan supervisi jenis pekerjaan lainnya. Faktor pertama yang menyebabkan perbedaan tersebut, adalah dari segi karakteristik pekerjaan yang disupervisi. Pekerjaan mengajar tentu tidak dapat disamakan dengan pekerjaan manual di perusahaan, karena mengajar yang dihadapi adalah peserta didik, melibatkan unsur intelektual dan emosional, sehingga sifat pekerjaannya tidak rutin. Kata kunci dalam supervisi pembelajaran bukanlah pengawasan, namun bantuan pada guru untuk meningkatkan pembelajaran.
Perbedaan supervisi pembelajaran dengan supervisi jenis pekerjaan lain juga dapat ditemukan pada aspek tujuan. Supervisi pembelajaran tujuan akhirnya tidak hanya pada kinerja guru, namun harus sampai pada meningkatkan hasil pembelajaran peserta didik. Seperti yang telah dikutip oleh Suharsimi dari pernyataan Glickman (1981) bahwa supervisi pembelajaran adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Inilah tujuan ideal dari supervisi pembelajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat secara signifikan.
Dalam praktiknya di lapangan selama ini, pelaksanaan supervisi pembelajaran masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pembelajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas Pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar mengawasi. Dengan demikian,  yang kini muncul dalam benak kita adalah ”Sudah efektifkah pelaksanaan supervisi pembelajaran selama ini ?”. Untuk itu, perlu kita adakan evaluasi tentang keefektifan kegiatan supervisi pembelajaran di atas.
B.  Permasalahan
Paparan ini akan membahas keefektifan supervisi pembelajaran dalam birokrasi pendidikan dan pengaruh kinerja guru terhadap supervisi pembelajaran, dibandingkan dengan konsep-konsep teoritik supervisi. Dari identifikasi terhadap kesenjangan tersebut, akan diberikan tawaran solusi bagi upaya perbaikan pelaksanaan supervisi di masa mendatang.
  1. Bagaimana konsep ideal supervisi pembelajaran?
  2. Bagaimana efektifitas  pelaksanaan supervisi pembelajaran ?
  3. Bagaimana kinerja guru pasca pelaksanaan supervisi pembelajaran?
C.  Tujuan Penulisan Makalah.
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan  ini diarahkan untuk mengetahui :
1.      Konsep ideal supervisi pembelajaran.
  1. Efektifitas pelaksanaan supervisi pembelajaran.
  2. Kinerja guru pasca pelaksanaan supervisi pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    KONSEP IDEAL SUPERVISI PEMBELAJARAN.
Ada beberapa hal mengenai tata cara supervisi pembelajaran yang harus dicermati oleh seorang supervisor, agar pelaksanaan supervisi pembelajaran dapat berjalan dengan baik, sesuai harapan. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1.   Peranan Supervisor Pembelajaran.
Supervisor pembelajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan pengawas. Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor pembelajaran bukanlah seorang pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Oliva (1984) mengemukakan peranan supervisor yang utama, ada 4 hal, yakni:
a.       Sebagai koordinator.
Berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya.
b.      Sebagai konsultan.
Supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok.
c.       Sebagai pemimpin kelompok (group leader).
Supervisor harus memiliki kemampuan memimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai bentuk kegiatan kelompok.
d.      Sebagai evaluator.
Supervisor harus dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.
2.   Kompetensi Supervisor
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, maka seorang supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok (Bafadal, 1992: 10-11), yakni :
a.       Berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi:
1)      Pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran.
2)      Persepsi guru terhadap peserta didik.
3)      Pengetahuan guru tentang materi.
4)      Penguasaan guru terhadap teknik mengajar.
b.      Berkaitan dengan professional development competency areas, yakni :
1)      Bagaimana cara mengerjakan tugas ( know how to do).
2)      Bagaimana dapat mengerjakan (can do).
3)      Bagaimana mau mengerjakan (will do).
4)      Bagaimana mengembangkan profesionalnya (will grow).
Selanjutnya dikatakan juga kompetensi yang harus dimiliki supervisor meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the nature of teaching, the nature of adult development, dan tentu saja juga the characteristics of good and effective school.
a.       Berkaitan dengan the nature of teaching ( hakikat pembelajaran), supervisor harus memahami keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh yakni :
1)      Faktor-faktor organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional lainnya dalam lembaga pendidikan.
2)      Berkaitan dengan pribadi guru, menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan keterampilan guru.
3)      Berkaitan dengan support system dalam pengajaran, yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta evaluasi.
b.      Dalam hal the nature of adult development ( pembelajaran orang dewasa ) supervisor harus mengetahui tahapan perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral, tahapan pengembangan profesional, serta berbagai prinsip dan teknik pembelajaran orang dewasa.
c.       Dalam hal the characteristics of good and effective school ( karakteristik sekolah yang baik dan efektif ), supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuah sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas, supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang manajerial secara umum.
3.      Teknik-teknik Supervisi
Dengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaannya, dikenal berbagai teknik dan pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.
a.       Teknik Individual.
Seperti yang telah dikutip oleh Drs Subari, bahwa Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980) mengidentifikasi berbagai teknik supervisi individual meliputi kegiatan di dalam dan di luar kelas. Aktivitas supervisi individual yang dilakukan di dalam ruang kelas, antara lain:
1)      Kunjungan dan observasi kelas.
2)      Supervisi dengan tujuan untuk mengetahui kompetensi.
3)      Supervisi klinis.
4)      Perbincangan supervisor dengan guru.
Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti pengembangan profesional guru secara umum, antara lain berupa:
1)      Mengambil mata kuliah di perguruan tinggi.
2)      Keterlibatan dalam evaluasi.
3)      Konferensi dan kegiatan profesi lainnya.
4)      Pemilihan buku teks dan bahan-bahan pembelajaran lainnya.
5)      Pembaca jurnal/bacaan profesi.
6)      Menulis artikel mengenai profesi.
7)      Pemilihan guru/staf profesional.
8)      Pertemuan informal supervisor dengan guru.
9)      Berbagai bentuk pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan profesional guru.
b.      Teknik Kelompok.
Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain:
1)      Orientasi bagi guru baru.
2)      Ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas.
3)      Pelatihan sensitivitas.
4)      Pertemuan guru yang efektif.
5)      Melakukan teknik Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pembelajaran/ sekolah.
6)      Mengunjungi guru lain yang profesional.
7)      Pengembangan instrument ujian secara bersama.
8)      Pusat kegiatan guru.
Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan. Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung pada inisiatif supervisor.
4.       Pendekatan Supervisi
Dalam pelaksanaan supervisi, karakteristik guru yang dihadapi oleh supervisor pasti berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi usia dan kematangan, pengalaman kerja, motivasi maupun kemampuan guru. Karena itu, supervisor harus menerapkan pendekatan yang sesuai dengan karakteritik guru yang dihadapinya. Apabila pendekatan yang digunakan tidak sesuai, maka kegiatan supervisi kemungkinan tidak akan berjalan dengan efektif. Sergiovanni (1982), mengemukakan berbagai pendekatan supervisi, antara lain :
a.       Supervisi Ilmiah
Seperti yang telah dikutip oleh Lia Yuliana, John D. McNeil (1982), menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai supervisi ilmiah, yakni sebagai berikut :
1)      Supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi oleh berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan ini, kekurang berhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan pengaturan serta pedoman-pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh penelitian, agar dapat dilakukan perbaikan secara tepat.
2)      Supervisi ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan metode pemecahan masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi guru di dalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi kebiasaan eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati hasilnya dalam pembelajaran.
3)      Supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology. Maksudnya setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang ditemukan dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru. Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik kesimpulan mengenai problem pembelajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang dikumpulkan. Hal ini sebagai perwujudan terhadap ideologi demokrasi, di mana seorang guru sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas dasar opini semata.
Pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru harus memiliki pedoman yang baku dalam mengajar, perlu juga dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus dibiasakan melakukan penelitian untuk meme-cahkan problem mengajarnya secara ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandang-an terakhir tentunya harus menjadi landasan sikap supervisor, di mana ia harus mengacu pada data yang cukup untuk menilai dan membina guru.
b.      Supervisi Artistik
Supervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi ilmiah. Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata sebagai science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi tersebut.
Yang dimaksud dengan pendekatan supervisi artistik (Elliot W. Eisner 1982 – dalam Made Pidarta. 1997 ), ialah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas, perceptivity, dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas, dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis serta ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen utamanya bukanlah alat ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana) kependidikan di sekolah.
Dari pengertian tersebut, mungkin dapat dianalogikan dengan pendekatan penelitian. Supervisi ilmiah paradigmanya identik dengan penelitian kuantitatif sementara itu supervisi artistik lebih dekat dengan pendekatan penelitian kualitatif.
c.       Supervisi Klinis
Supervisi klinis berangkat dari cara pandang kedokteran, yaitu untuk mengobati penyakit, harus terlebih dahulu diketahui apa penyakitnya. Inilah yang harus dilakukan oleh supervisor terhadap guru apabila ia hendak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.
Supervisi klinis dilakukan melalui tahapan-tahapan:
a)      Pra observasi, yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru mengenai apa yang akan diamati dan diperbaiki dari pembelajaran yang dilakukan.
b)      Observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah disepakati.
c)      Analisis, dilakukan secara bersama-sama oleh supervisor dengan guru terhadap hasil pengamatan.
d)     Perumusan langkah-langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.
B.     EFEKTIFITAS PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN.
Banyak sekali problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran, antara lain :
1.      Jabatan Supervisor dan Legalitasnya.
Kenyataan yang pertama kali harus disadari sebelum berbicara mengenai pelaksanaan supervisi yang ideal, adalah bahwa dalam peraturan mengenai kependidikan di Indonesia ini, tidak dikenal adanya jabatan supervisor. Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi: “Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan”. Ayat tersebut selanjutnya diberikan penjelasan bahwa “Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
Berdasarkan pada landasan hukum di atas, maka konteks supervisi pembelajaran di Indonesia tercakup dalam konsep pembinaan dan pengawasan. Sejak 1996 pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, telah menetapkan (pejabat) Pengawas sebagai pelaksana tugas pembinaan/supervisi guru dan sekolah. Teknis pelaksanaan Keputusan Menpan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kerditnya. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Pengawas Sekolah adala” Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar, dan menengah“.
Sebagai tenaga fungsional kependidikan, jabatan Pengawas selanjutnya dibuat penjenjangan sebagaimana jabatan pendidik/guru. Dengan demikian jabatan pengawas telah diakui secara resmi sebagai jabatan fungsional. Jabatan tersebut mencerminkan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas sebagaimana jabatan fungsional lainnya.
         2.         Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran oleh Pengawas.
Penelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003:75) menunjukkan kenyataan pelaksanaan supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang dengan konsep ideal supervisi. Kegiatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas, masih jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya “membantu guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai syarat keberhasilan supervisi pembelajaran, belum dilakukan sepenuhnya oleh para pengawas. Kenyataan yang terjadi di lapangan selama ini, hubungan antara pengawas dan guru masih sebatas antara ”atasan dan bawahan”.
         3.         Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran oleh Kepala Sekolah.
            Salah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai administrator adalah juga sebagai supervisor. Tugas ini termasuk dalam kapasitas kepala sekolah sebagai instructional leader.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah, sebagai-mana pengawas, juga masih terfokus pada pengawasan administrasi atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Pada umumnya kepala sekolah hanya akan melakukan kegiatan evaluasi & supervisi pembelajaran terhadap guru melalui kunjungan kelas, apabila dia mendapat laporan mengenai kinerja guru tersebut yang kurang baik, atau berbeda dari guru-guru yang lain. Bahkan seringkali dijumpai, seorang kepala sekolah melakukan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dengan cara mengintip dari balik pintu atau jendela, agar tidak diketahui oleh guru tersebut. Perilaku kepala sekolah yang demikian mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya (Jawa) yaitu ”pekewuh”, takut akan menimbulan konflik dalam hubungan guru dengan kepala sekolah, sekaligus dikarenakan kepala sekolah sendiri belum memahami secara utuh apa dan bagaimana supervisi pembelajaran. Dalam pemahaman yang salah tersebut, sangat jelas bahwa kegiatan supervisi pembelajaran oleh kepala sekolah terhadap guru masih jauh dari angan-angan keterlaksanaannya secara ideal.
         4.         Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran oleh Guru Senior.
            Seperti guru yang lain, tugas guru senior adalah juga melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dengan beban tugasnya tersebut, bagaimana mungkin dia sempat melakukan kegiatan supervisi pembelajaran terhadap guru yunior. Apalagi kenyataannya kebanyakan guru senior juga belum memiliki kompetensi sebagai supervisor. Jadi kalaupun ada yang melaksanakan kegiatan supervisi pembelajaran, sifatnya masih amburadul.
         5.         Kendala-kendala Pelaksanaan Supervisi
Kendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu :
a.       Aspek struktur.
Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala antara lain sebagai berikut :
1)      Secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang pendidikan yang masih dekat dengan era inspeksi.
2)      Lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan administrasi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi yang digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pembelajaran di sekolah tersebut juga baik. Inilah asumsi yang keliru.
3)      Rasio jumlah pengawas dengan guru yang harus dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pulau Jawa/ daerah-daerah terpencil misalnya, seorang pengawas harus membina/ mengawasi ratusan guru, dan dalam kegiatannya dia harus menempuh puluhan bahkan ratusan kilo meter untuk mencapai sekolah binaannya.
4)      Persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi pembelajaran di kelas.
b.      Aspek Kultural.
Dalam aspek kultural dijumpai kendala antara lain :
1)      Para pengambil kebijakan tentang pendidikan belum berpikir tentang pengembangan budaya mutu dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka mutu pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada kualitas interaksi pembelajaran antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di lapangan.
2)      Nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budaya ewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah guru.
3)      Budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dan membangun hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan pengawas. Guru menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas menganggap kepala sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi syarat pelaksanaan supervisi.
C.    KINERJA GURU PASCA PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN.
Supervisi pembelajaran merupakan upaya membantu guru-guru dalam mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensial supervisi pembelajaran adalah membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Mengembangkan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness), juga motivasi (motivation) guru, sebab dengan meningkatnya kemampuan dan motivasi kinerja guru, diharapkan kualitas pembelajaran akan meningkat.
Glickman (1985) menguraikan bahwa tujuan supervisi pembelajaran adalah untuk membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan atau kapasitasnya agar para siswa dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah ditetapkan.
Supervisi pembelajaran tidak bisa terlepas dari penilaian performansi guru dalam mengelola proses pembelajaran. Apabila di atas dikatakan, bahwa supervisi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan membantu guru untuk mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai performansi guru merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa dihindarkan prosesnya (Sergiovanni, 1987). Penilaian performansi guru sebagai suatu proses pemberian estimasi penampilan guru dalam mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan supervisi pembelajaran. Dengan kata lain, dalam pelaksana-an supervisi pembelajaran, terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru, sehingga bisa ditetapkan aspek-aspek yang perlu dikembangkan dan bagaimana cara mengembangkannya.
Jelaslah bahwa guru harus mempunyai sikap positif terhadap pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah ataupun guru senior . Sikap positif ini bisa diwujudkan dengan hal-hal sebagai berikut:
1)      Guru melihat dengan jelas tujuan pendidikan.
2)      Guru harus mampu membimbing pengalaman siswa.
3)      Guru memanfaatkan sumber-sumber pengalaman belajar.
4)      Guru lebih kreatif dalam menggunakan metode dan alat pelajaran modern.
5)      Guru harus berusaha memenuhi kebutuhan belajar siswa.
6)      Guru harus lebih cermat dalam menilai kemajuan siswa.
7)      Guru mampu mencurahkan perhatian, waktu , dan tenaganya untuk kemajuan dan pembinaan di sekolah.
Namun kenyataan yang sering terjadi, banyak guru (oknum guru) yang bersikap acuh tak acuh terhadap pelaksanaan supervisi pembelajaran, karena mungkin belum memahami arti supervisi pembelajaran, tidak menyadari kegiatan tersebut dalam upaya membantu dirinya, serta belum menganggap bahwa kegiatan supervisi pembelajaran sebenarnya sangat ia butuhkan. Selain karena memang pelaksanaan kegiatan supervisi pembelajaran itu sendiri belum efektif. Jadi dapat dikatakan bahwa permasalahan belum efektif dan berhasilnya kegiatan supervisi pembelajaran sangatlah kompleks. Perlu dicari solusi alternatif untuk memecahkannya.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan.
Demikianlah uraian singkat mengenai evaluasi keefektifan pelaksanaan supervisi pembelajaran ini dan bagaimana kondisi kinerja guru, antara konsep teoritik dan kenyataannya. Pelaksanaan supervisi pembelajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari konsep ideal. Penyebabnya demikian kompleks, mulai dari pemahaman konteks supervisi itu sendiri yang belum dimiliki oleh para pelaku, baik pengawas, kepala sekolah, maupun guru. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-pihak yang mempunyai komitmen terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini secara bersama-sama harus dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.
B.     Saran.
Berangkat dari kenyataan dan problematika kegiatan pelaksanaan supervisi pembelajaran di Indonesia, maka untuk menuju pada keterlaksanaan supervisi pembelajaran yang ideal diperlukan langkah-langkah antara lain :
1.      Menegaskan, dan jika perlu memisahkan jabatan supervisor dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan pengawas agar terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau mengangkat supervisor secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas melaksanakan fungsi pengawasan.
2.      Memperbaiki pola in service rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan promosi jabatan supervisor/pengawas.
3.      Dalam konteks otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
4.      Membangun kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi pengelola-pengelola pendidikan pada semua tingkatan.
5.      Mengikis habis pola hubungan paternalistik antara pengawas/kepala sekolah dengan guru dan mengembangkan hubungan profesional yang akrab dan terbuka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Bafadal, 1992. Supervisi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ekosusilo, Madyo. 1998. Supervisi Pengajaran dalam Latar Budaya Jawa. Sukoharjo: Univet Bantara Press.
Glickman. 1990. Supervision Human and Perspective. New York maemilan.
Keputusan MENPAN Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya.
Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan Nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kerditnya.
Made Pidarta. 1997. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Surabaya : Sarana Press.
Oliva. Peter F. 1984. Supervision for Today’s School, (2nd Ed) New York: LongmanInc. P.
Sergiovanni, T.J. dan Starrat, R.J. 1993. Supervision A Redefinition. 5th Ed. New York: McGraw-Hill Book Co.
Suharsimi Arikunto. 2006. Dasar-Dasar Supervisi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar